Cinta ngalor ngidul




“Dir ada temennya tuh!” teriak tetanggaku yang kebetulan lagi kerja di rumah untuk memperbaiki beberapa bagian pintu yang belum sepenuhnya jadi. Aku enggak tahu itu teriakan panggilannya yang keberapa. Yang jelas aku langsung buka mata, menyahut, lalu jalan ke luar kamar menuju ruang tamu. Dari jendela, aku bisa lihat temanku yang berbedan lebar, tapi tinggi. Dia lagi berdiri sambil melihat layar handphone. Sebut saja dia Edde.

“Masuk, De, lewat pintu samping. Pintu ini dikunci.” Kataku setengah berteriak sembari berjalan ke pintu samping.

Aku disambut dengan omelan Edde ketika aku menyambutnya dengan tertawa.

“IH LU GIMANA SIH, GUA TELFONIN BERKALI-KALI! GUA NUNGGU DI DEPAN DARITADI!”

“Hahaha… Gua ketiduran, De, ini aja baru bangun.” Jawabku mengarahkannya ke kamarku yang terdapat sebuah jam disudut kanan ruangan. Jarumnya mengarah ke angka 10. Padahal sudah jam 11.
Edde saat itu berniat ingin mengembalikan buku perpustakaan kampusku yang sempat dipinjam oleh Yua, teman kampus Edde alias teman baruku juga yang sempat nongkrong di perpustakaan kampusku denganku tempo hari.

“Jadi, gini, Dir. Gue tuh mau nyeselain semprop, karena gue mau kawin minggu depan!” kata Yua yang saat itu berada tepat di depanku.  Jemarinya sibuk membolak-balikkan halaman buku.

“Wah, keren! Ketika gue ngejar revisian karena mau jalan-jalan ke Jogja, ini orang malah ngejar semprop karena mau kawin! Hahaha…” kataku ke Edde. Edde ikut tertawa. Aku enggak tahu dia dengar atau tidak, karena lagi sibuk memonyong-monyongkan bibir buat selfie.

--

Di dalam kamarku, Edde sibuk ngomel-ngomel karena belum tidur semalam. Ia harus bekerja menjadi salah satu volunteer di bagian salah satu LO band indie yang merangkap panitia inti sekaligus ketua pelaksana. Ya, dia salah memilih acara yang ditawarkan oleh teman kampusnya sendiri yang berperan sebagai ketua pelaksananya. Sebuah acara music yang dibuat secara iseng, namun mendatangkan salah satu penyanyi indie yang sedang naik daun. Membuat acaranya jadi super duper chaos karena sebagian besar panitia inti adalah perempuan-perempuan setengah cabe-cabean yang mendadak hilang saat acara, dan muncul kembali saat sesi foto dengan bintang tamu utama di backstage. Jadi, Edde dan beberapa teman warasnya yang hanya berperan sebagai volunteer, mendadak merangkap banyak peran di seluruh divisi.

“Gue enggak tau kalau semuanya bakal kayak gini, Dir. Tau gini, gue bawa pulpen sama kertas.”

“Kenapa emang?”

“Gue yang ngubah semua rundown, Dir. Lo tau gue bikin rundown dimana? Di tissue!”
Aku yang dengar cuma bisa ketawa sambil geleng-geleng.

“Lo tau gak, Dir, ada salah satu band yang tiba-tiba cancel! Tau gak karena apa? Karena bandnya bubar 2 jam sebelum perform! Iya, mereka berantem sama managernya jadi bubar!” cerita Edde lagi dengan mengebu-ngebu. Aku semakin ketawa. Hampir gak bisa dikontrol.

“Makanya, kalau pilih event, lihat poster dulu. Ini aja posternya abal-abal. Liat juga lokasinya. Ini di lapangan. Lapangan di daerah sini lagi! Pasti ya lapangan tanah merah biasa. Mau itu juga temen lo yang bikin eventnya, tetep aja.” kataku ketika Edde memperlihatkan akun instagram event tersebut. 

Sok-sok nasehati, padahal aku sama sekali enggak pernah jadi volunteer acara music. Mentok-mentok jadi volunteer di acara atau seminar tentang literasi anak yang pesertanya biasanya merupakan penulis, penerbit atau murid-murid dari salah satu sekolah borjuis di Jakarta Utara. Edde membalasnya dengan ribuan keluhannya. Setelah meninggalkan Edde untuk mandi dan menggunakan sunblock, aku memutuskan untuk cari sarapan bareng dia. Kebetulan aku belum sarapan. Jangan tanya Edde belum atau sudah makan. Karena setiap datang ke rumah, yang ditanya selalu, “Ada makanan, nggak, Dir?”

Dengan motornya, aku yang duduk dibelakangnya mengarahkannya ke jalan yang terdapat banyak warung makan. Nggak sampai satu kilometer dari rumahku.

“Soto atau mie ayam?” tanyaku.

“Mie ayam.” Jawabnya sembari memberhentikan motor tepat di depan Warung Jokomi. Letaknya 
persis disebelah kanan bengkel langgananku. Bengkelnya masih ada. Sedangkan mobilku sudah nggak ada. Dijual karena sering mogok.

Kami sama-sama pesan mie ayam dengan pangsit. Harganya 11 ribu kalau tidak salah. Lalu Edde pesan tambahan pangsit basah dua ribu.

“Orangtua gua berantem lagi. Tapi yang ini lebih gila.” Ucap Edde tiba-tiba.

“Gila gimana?” Aku sebenarnya bisa menebak ceritanya tanpa perlu bertanya karena aku bakal tahu tema ceritanya. Tapi, cerita yang sekarang sepertinya lebih berbeda dari sebelumnya. Lebih serius. 
Lebih menegangkan. Lebih banyak sakitnya.

“Bapak gue, Dir. Dia, begitu. Sama ibu gue.” Jawab Edde santai sambil memegang mangkuk sambal. 

Sebenarnya aku kaget. Kaget banget. Tapi aku cuma bisa lihat mata Edde sambil sesekali lihat mangkuk sambal agar bisa terlihat sama santainya dengan Edde. Karena aku tahu, Edde berpura-pura santai. Aku juga enggak mau kalah santai. Anggap aja kita lagi santai-santai di pantai.

“Kok bisa? Itu kapan? Setelah event?” aku bertanya beberapa pertanyaan padanya sambil merebut mangkuk sambal yang dipegangnya daritadi karena aku mau gantian ambil. Edde menjawabnya dengan detail. Amat detail. Aku enggak bisa cerita disini soal bagaimana detailnya. Selain privasi, itu juga hal yang sangat sensitif.

“Wanita itu punyanya negara. Jadi jangan macam-macam dengan wanita!” cerita Edde sambil menirukan ucapan salah satu polisi yang sempat ia temui beebrapa waktu lalu. Selain ada polisi, ada juga beberapa TNI katanya disana.

Aku jadi ingat obrolanku dengan Edde di mobil setelah ia menceritakan tentang keluarganya satu setengah tahun yang lalu. Saat aku mengantarnya ke kampus sehabis nonton film di bioskop.

“Sumpah waktunya pas banget sama kaya masalah gue!” teriakku heboh.

“Hah, serius?”

“Iya, De! Sama yang kaya dulu, tapi ini beda lagi. Kita tuh sama-sama nggak cerita sama siapa-siapa. Gue malah nggak nyangka kalau lo ngerasain kayak gini. Karena dari luar, lo itu biasa aja, De.”

“Kayak lo kan? Lo juga biasa aja dari luar, ketawa-ketawa.”

“Iya, jadi gini ceritanya..” Giliranku yang bercerita saat itu. Mungkin karena masalah yang kita punya telah lewat berbulan-bulan, kita menceritakannya dengan menyelipkan berbagai celetukan, lawakan, candaan dan ketawa yang ngakak-sengakaknya. Kadang orang itu suka aneh, ya.

“Kita kan orangnya suka bercanda. Orang-orang nggak tahu, sengakak-ngakaknya kita diluar, ternyata ada rasa sakit didalamnya.” Ucapku tiba-tiba setelah sampai di depan gerbang kampusnya.

“Iya, ya. Kita jago acting! Hahaha…” tambahnya.

--

“Ini salah satu alesan gue buat takut nikah.” Kataku setelah menelan suapan mie ayam yang terakhir.

“Ya, gue juga bilang apa yang lo bilang ke ibu gua, Dir. Tapi dia bilang, jangan berpikir begitu. Nikah itu ibadah. Tapi, gimana ya. Keluarga sendirilah yang membuat kita sendiri takut.”

Setelah mengobrol cukup lama, kami berpamitan dengan tukang mie ayam. Lalu berjalan ke alfamart untuk membeli es krim dan teh tarik. Aku menyesal bukan main sudah mengajaknya ke alfamart.

“ASSALAMUALAIKUM!” teriak Edde ketika memasuki alfamart. Semua pengunjung, termasuk mbak kasir melihat ke arah kami. Setelah memilih-milih minuman, eskrim, bermain petak umpet, memainkan kulkas eskrim dan melawak berdua, aku menuju ke kasir duluan. Lalu dari arah rak makanan, Edde berteriak,

“DIR, KATANYA LO MAU BELI KONDOM!” Aku yang dengar langsung noleh ke belakang. Terlihat dia tertawa tanpa dosa. Aku segera buru-buru ambil kembalian. Lalu narik Edde keluar alfamart.

“ALLAHU AKBAR, EDDE!!!!” Edde masih cengengesan dan masih juga merasa tanpa dosa.

“Sumpah lo, De! Untung Alfamart! Bukan Superindo!” omelku lagi.

“Loh, kenapa emang?”

“Superindo kan lebih gede, ya lo bakal bikin malu gue se-superindo tau, gak!” Sebenarnya percuma juga buat ngomel ke Edde. Karena kalau ngomong sama dia, masuknya lewat telinga kiri, terus langsung keluar lewat ketek. Iya, bukan lewat telinga kanan lagi. Sebenarnya, kalimat sebelum ini juga cocok buatku. Karena, kata Edde, “Gue tuh nggak bisa marah sama lo, Dir. Karena percuma! Lo tuh goblok! Hahahaaha…”

“Bukan, De. Karena kita jarang ketemu. Terus kita ketemunya pas lagi main, pas lagi nggak ada masalah.”kataku membenarkan dengan serius. Tumben sekali.
Selain alfamart, di jalan pulangpun Edde juga membuat ulah. Ketika melewati kerumunan para pedagang di depan TK-ku dulu, Edde berteriak, “DIR KATANYA MAU BELI JENGKOL, KAN LO!”

Teriakan Edde disahut oleh seluruh pedagang saat itu, “WOOOOOOOO!!!”

Aku yang dengar hanya bisa toyor-toyor kepalanya sambil menarik kerudungnya dari belakang hingga jidatnya terlihat lebih lebar dari biasanya. Ya, kami kalau bercanda suka keteraluan. Dia langsung buru-buru menepi sambil berteriak, “GOBLOK LO, DIR! GOBLOOOKKK!!!”. 

Dilanjutkan dengan membetulkan kerudungnya selama beberapa detik.

“Dir, bercandaan gue masih mending. Gue waktu naik motor dibonceng sama Kumal. Di lampu merah, tiba-tiba dia turun dari motor sambil teriak, ‘OH YAUDAH KALO LO MAUNYA KAYA GITU!’ SUMPAH ITU SEMUANYA PADA NGELIAT GUA!”

--

Obrolan kita berlanjut di kamarku dengan bahasan yang berbeda. Yaitu percintaan Edde dengan teman se-friendzonenya. Sebut saja Sanu. Percintaan yang sama-sama mau-mau, engga-engga. Kalau kata Edde sih begitu. Lalu Edde bercerita soal mantannya waktu SMA.

“Gue terakhir pacaran kan kelas 3.” cerita Edde.

“3 SD?”

“3 SMA LAH GOBLOK!”

Bedanya dengan Sanu, waktu Edde pacaran dengan mantan SMAnya ini, sebut saja, Manto, Edde-lah yang pergi. Buat apa sih, kita pergi kalau awalnya kita menerima? Kadang manusia memang bikin bingung.

Setelah menceritakan Manto, Edde juga kembali bercerita soal gebetannya waktu kuliah semester satu. Sebut saja Panji. Bisa pilih, mau sebut panji Milenium atau Panji Sang Petualang. Nah, kalau dengan si Panji, mereka berdua ceritanya menjalin hubungan tanpa status. Sayangnya, Panji pergi tiba-tiba. Padahal Panji yang mendekat duluan, tapi ia juga yang pergi pada akhirnya. Padahal juga, waktu itu Edde sudah jatuh cinta gila-gilaan. Tapi, si Panji malah makin menjauh gila-gilaan tanpa sebab.

Aku jadi ingat waktu datang ke rumah Mala, teman SMA ku yang waktu itu sudah menikah beberapa bulan. Aku kesana dalam rangka mendengarkan curhatan temanku yang lain yang sedang patah hati. Sebut saja dia, Diya. Diya menangis kesenggukan karena ditinggal menikah sama gebetan onlinenya yang sama sekali belum pernah ditemui sebelumnya.

“Diy, lo tuh nggak boleh cinta sama orang seenaknya. Gak boleh berlebihan, biasa aja. Gue aja nih yang punya suami, ya gue sih cinta ya cinta sama dia. Tapi cinta aja. Nggak yang cinta mati sama dia, yang gila-gilaan atau yang gimana-gimana.” nasehat Mala panjang lebar. Bukan cuma Diya yang tertusuk dengan nasehat Mala saat itu. Tapi aku juga ikut-ikutan. Karena aku terkadang masih suka menggalau ria kesana kemari karena masa lalu.

Dari gabungan cerita Edde dan ceritaku sendiri hari itu, aku ambil kesimpulan sendiri. Kita memang nggak boleh ninggalin orang seenaknya. Tapi, kita juga nggak boleh jatuh cinta seenaknya. Jadi, jangan terus salahkan dia yang asal pergi. Salahkan kamu juga yang asal cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Covid why

Tidak cukup bagi kita

Dora the sotepbol