Patah Hati terhebat



Akhirnya aku bisa ceritain hal ini. Aku juga mengetik cerita ini di toko ibu biar nggak terlalu kebawa sedih. Ku ketik di note hape sambil duduk di karpet kecil. Aku lupa - lupa ingat kejadiannya. Tapi aku coba mengingat lagi hal penting maupun sepele didalamnya. Ini terjadi di tahun 2015, bulan Oktober. Dan sama sekali nggak aku sangka, di luar dugaan. Maaf ya kalau nggak jelas atau membosankan. Aku sudah mencoba yang terbaik.
Siang sekitar pukul 13.00, aku berada di kosan teman dekat kampus, habis buat tugas ospek video kelompok. Aku menebeng dengan salah satu teman yang jalan pulangnya searah denganku. Perjalanan melebihi 9 km dengan aku yang tanpa menggunakan helm dan melewati jalan lumayan besar. Baru satu atau dua kali aku lewati jalan tersebut. Semua itu bikin aku takut, nggak seperti biasanya. Melihat ke kiri, kanan, lalu ke jalan aspal. Membayangkan bagaimana aku akan jatuh, luka berat, lalu bahkan mati. Memang berlebihan. Tapi, ya… karena aku sudah lama nggak jalan jauh naik motor tanpa helm dengan jalan yang kendaraannya banyak lalu lalang. Gak tau kenapa, selama di jalan aku jadi deg-degan terus.
Aku minta diturunkan di masjid karena beda arah. Sekitar pukul 14.30, aku duduk menunggu aplikasi gojek yang sedang kugunakan untuk menemukan driver. Sembari mengobrol singkat dengan dua orang driver gojek disebelah.
“Pesan gojek?” Tanyanya.
“Iya. Ini lagi nunggu nyari gojeknya. Belum ada.”
“Coba liat di hape lu.” Pinta salah seorang driver gojek pada driver satunya.
“Oh yaudah… Bentar saya nyalain paket data saya.”
Ting.
Terdengar suara dentingan dari hapeku. Nada khas aplikasi ojek online tersebut jika telah mendapat driver.
“Yah… Maaf bang,barusan sudah dapet gojeknya. Duluan ya bang.” Pamitku. Mas - mas driver tersebut langsung menjawab pamitku sambil tersenyum. Aku segera berjalan sedikit ke arah gerbang masjid sembari menerima panggilan telepon dari driver.
Aku segera duduk di motor driver setelah menemukannya tak jauh dari gerbang masjid. Kami putar balik lalu berjalan lurus melewati mall, lurus lagi melewati gerbang Puri Beta. Putar balik lagi, masuk ke jalan Inpres. Lurus terus mengikuti jalan besar sampai bertemu rumah tusuk sate. Belok kiri ketika menemukan pos satpam, lalu belok kiri menanjak sampai akhirnya menuju rumahku sekitar pukul 3 lewat.
Adikku, Febi membuka pintu menyambutku datang. Aku langsung duduk di bangku plastik depan tivi. Jariku sibuk menekan-nekan keyboard di layar handphone. Saat itu aku sedang mengobrol di multi chat dengan dua teman sma. Kami sudah janjian mau memberi kejutan kepada satu teman lain di suatu kafe jam 4 nanti.
Tiba - tibe terdengar dering telefon rumah. Ku angkat telefon tersebut yang ternyata ibuku.
“Bimmo kecelakaan!” Kata ibuku dengan nada cemas yang mengagetkan.
“Kok bisa? Terus Bimmo nya gimana?” Tanyaku. Aku tidak begitu kaget.
“Nggak tau. Ini yangkung lagi ke rumah sakit. Doain semoga nggak kenapa - kenapa.”
“Ah iya… Semoga cuma luka-luka baret.”
“Oiya bu, nanti aku jam 4 mau main ya sama temen..” kataku lagi dengan santai.
“Ih kamu jenguk Bimmo sakit dulu!”
“Kan bisa besok jenguknya…”
“Yaudah deh tapi jangan kemaleman mainnya!” Kata ibuku seperti tidak ikhlas.
Aku langsung mengiyakan lalu kututup telepon. Kembali duduk di kursi plastik berwarna biru dengan tangan yang kembali sibuk memijit layar hape untuk mengetik di kolom obrolan.
Tiba - tiba telepon rumah berdering kembali. Aku langsung mengangkatnya.
Terdengar suara berisik tak jelas dari balik telepon. Sudah ku panggil, namun tak menyahut. Mungkin telefon dari hape ibuku yang nggak sengaja kepencet. Karena ia sering begitu.
Aku langsung menutup telepon. Kembali sibuk dengan hape. Lalu mengarahkan mata kepada tivi yang daritadi menyala.
Lagi - lagi, telepon rumah berdering lagi. Tangan Febi langsung meraba telepon didekatnya. Mengangkat gagang telepon menuju ke telinga kanannya.
“Halo? Ibu? Ha? Apa? Halo?” Katanya dengan heran karena suara yang kurang jelas dari telefon yang katanya dari ibu.
“Nih ka, ibu. Gatau, nggak jelas.” Ia memberi gagang telepon padaku.
“Halo? Ibu?” Panggilku mengernyitkan dahi. Suaranya berisik disana. Seperti ada sesuatu yang kalang kabut.
Ibuku langung menyahut dengan nada yang lebih mengangetkan.
“BIMMO MENINGGAL!”
Ibuku mengulang - ulang kalimat itu. Padahal aku sudah mendengarnya sangat jelas.
Aku diam sebentar. Responku masih seperti tadi. Aku kira, kabar itu hanya penipuan yang didapat dari panggilan telepon. Karena di keluargaku, bahkan keluarga besar sering dapat kabar lewat telefon bahwa salah satu anggota keluarga sakit, kecelakaan, sampai meninggal dari si penipu. Tapi, kenpa jantungku mendadak berdetak nggak karuan?
“Hah? Kata siapa? Boongan kali itu!” Nadaku otomatis meninggi.
“Beneran! Yangkung tadi udah ke rumah sakit!” Suara isak tangis ibuku terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Beberapakali terdengar ibuku mengatakan kalimat ‘Bimmo meninggal’ pada orang-orang disekitarnya. Mungkin karyawannya, atau pembeli disana yang bertanya - tanya karena bingung melihat ibuku yang tiba - tiba menangis.
“Yasudah aku kesana sekarang atau gimana?” Tanyaku panik. Jantungku makin berdetak lebih hebat.
“Tunggu dirumah! Tunggu ibu sama bapak pulang!” Jawab ibuku mengakhiri telepon. Aku menoleh ke Febi,
“Bi, Bimmo meninggal!” Kataku setengah berteriak.
Ia yang daritadi sibuk memijit keyboard, kemudian menanyakan macam - macam kejelasannya. Terpaksa ku jawab walau sebenarnya malas dan cuma mau diam.
Kakiku mengajakku duduk di ruang tamu tanpa sebab. Aku duduk di kursi kemudian diam. Entah aku rasanya ingin hening lama tanpa bergerak sedikitpun. Aku hanya menatap luar rumah dari celah - celah pintu besi. Bayangan kenangan dulu dan bayangan imajinasi yang nanti sore akan datang, muncul di retina dan pikiranku. Pikiranku seakan menyeruak, menimpa mata yang sudah mulai panas. Kepalaku terasa berat. Jantungku tak henti -hentinya berdegup semakin cepat. Begitu dengan hati yang sepertinya sudah patah terbelah.
Untuk pertama kalinya, aku patah hati terhebat.


May, 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Covid why

Tidak cukup bagi kita

Dora the sotepbol