Cerita Senin


Seminggu yang lalu ada yang nanya ke aku,

"Punya tumblr?"

Aku mikir sebentar. Sepertinya sih nggak punya. Dulu sempat punya. Tapi isinya foto-foto justin bieber semua. Masa aku kasih itu. Ya sudah aku jawab,

"Engga."

Sejak itu, aku masih terus mikir. Sepertinya aku dulu pernah buat tumblr. Nggak lama juga kok. Sekitar setahun atau dua tahun lalu mungkin. Kemudian aku coba cari di google pakai namaku. Tetap nggak ada. Nihil.

Dan barusan, masih mikir lagi tentang nama tumblrnya. Aku ingat kalau dulu pernah ngomong,

"1 tambah 1 belum tentu dua. Karna sepasang kekasih, kalau ada selingkuhannya, berarti hasilnya 3."

Oh iya ya.

TARAAA!! Akhirnya ingat nama tumblrnya!

Berikut ini salah satu postingan di tumblr ku! Selamat membaca! Semoga agak kenyang!



Tadi aku pergi ke tempat yang lumayan penting yang sampai bikin aku terpaksa bolos ke kampus. Padahal hari ini adalah hari pertama masuk setelah hibernasi dua bulan. Aku harus ada ditempat tujuan jam 7an. Tempatnya agak jauh. Sekitar 18 km kalau lewat tol lingkar luar dan dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dari rumah menuju kesana. Itu juga menurut salah satu aplikasi smartphone yang belum termasuk aneka praduga buruk seperti macet atau banjir karena akhir-akhir ini hujan besar lagi suka mampir. Untuk jaga-jaga, aku berangkat jam setengah enam entah lewat berapa dan diantar bapak.
Sebelum ke tempat tujuan, aku harus temui satu pria yang dari semalam sudah janjian. Agak sulit menemukan tempat yang diminta.
Perlu tiga kali aku menelepon dan satu kali bertanya pada mbak penuang bensin yang ada di pom bensin milik belanda untuk menemukan tempatnya. Setelah menyebrang jalan, memasuki jembatan sampai mentok lalu belok kiri sampai 150 meter, aku akhirnya sampai.
Nama pria yang aku telefon adalah Dodo. Lebih tepatnya Mas Dodo. Beberapa meter dariku terdapat dua kerumunan yang membentuk kelompok. Satu kelompok mas Dodo, yang satu kita beri nama saja Mas Dede. Pria bertopi dengan baju kemeja hitam yang sedang duduk di atas motor, tiba-tiba melambaikan tangan ke arahku ketika ia melihatku yang sedang menaruh telefon genggam di telinga. Langsunglah aku menghampirinya, bergabung dengan kerumunannya.
Pak Dodo memberikan arahan dengan serius dan detail. Di tangan kanannya terdapat dua kertas. Satu berisi gambar gedung, satu lagi berisi list perintah. Ia memberi arahan apa yang harus dilakukan, bagaimana caranya dan dimana lokasinya seakan jika kami melewatkan atau melanggar salah satu, maka kami akan siap-siap tersesat di labirin, ditelan anakonda, diterkam harimau putih atau jatuh tenggelam ke dalam samudra dan dimakan ikan hiu. Apalagi saat ia bilang ke kami tentang suatu arahan yang menurutku sepele,
“Ketika sudah sampai di pintu utama, kasih kertas ini pakai tangan kanan ke penjaganya.”
Kembali ia mengulang kalimat ‘tangan kanan’ bermaksud menegaskan. Baru arahan pertama yang sangat sepele saja sudah sangat serius. Aku lihat-lihatan sambil senyum-senyum dengan orang yang ada disekitar.
Di kelompok Pak Dodo, ada tiga pria. Satu masih kepala dua atau tiga, dua yang lain sudah kepala empat atau lima. Ada juga satu orang wanita yang seumuran dengan ibuku. Namanya Pingkan. Aku tau namanya setelah berkenalan. Sesuai namanya, ia mengenakan baju pink dengan celana legging hitam. Ia juga memakai sepatu casual tanpa tali warna abu-abu. Aku hafal betul dengan tali kacamatanya yang berbentuk seperti bandul kalung berbentuk lonjong warna cokelat ke orenan. Karena cuma kami yang wanita, kami memutuskan untuk melewati rintangannya sama-sama.
Di tempat pertama sesuai list perintah yang Mas Dodo kasih, kami disuruh masuk ke suatu gedung warna biru dengan menunjukkan kertas berupa nomor dan identitas kepada macan yang terlihat seram. Pastinya dengan tangan kanan. Dan ternyata, macannya nggak seseram yang dikira. Ia jinak.
Di perintah yang kedua, kami memasuki ruang nomor 38 di lantai dua. Aku memberi kartuku kepada seekor kelinci dan mengambil dua kertas di depannya untuk dikerjakan. Lalu aku pilih bangku disebelah Tante Pingkan yang masih kosong. Karena selesai duluan, aku minta izin untuk pergi duluan dengannya yang masih sibuk mengisi kertas yang masih kosong sebagian
Di perintah ke tiga, aku menuju loket lima di lantai dasar. Nggak lama, tante Pingkan menyusulku. Aku ajak ia duduk disebelahku yang sedang kosong. Kami sekarang sedang menunggu nama dipanggil oleh seekor merpati di sarangnya. Karena namaku di panggil terlebih dahulu, aku bilang ke Tante Pingkan untuk izin duluan lagi.
Kemudian aku menuju ke loket nomor tujuh untuk memberikan kartuku, lalu berjalan lagi ke arah lapangan. Sempat juga ngobrol dan bertegur sapa dengan dua orang. Satu wanita yang sepertinya mahasiswi dengan usia dua atau tiga tahun diatasku. Rambutnya yang panjang hitam digerai dengan gaya remaja kekinian. Yang satu lagi adalah wanita berjilbab yang kelihatannya karyawan swasta atau sepertinya PNS. Ia berjalan cepat dengan tangan menjinjing tas satchel.
Di lapangan, orang-orang lebih ramai. Disana, aku kembali bertemu dengan Tante Pingkan. Aku hampiri dia lalu kami kembali mendengar arahan selanjutnya dari seekor beruang. Ada banyak basa basi yang ia ucapkan disela-sela arahan dan di akhiri dengan minta dolar secara ikhlas tanpa maksud pemalakan sebagai tip.
Selanjutnya, gerombolanku dipindahkan menuju suatu ruangan ber ac. Aku masih duduk di sebelah Tante Pingkan sampai akhirnya namaku disebut dahulu dan harus pergi duluan. Akhirnya aku izin kembali ke Tante Pingkan yang sebelumnya, sempat ia berbisik padaku.
“Kalau nanti sudah selesai, terus misalkan kita nggak ketemu lagi, semoga sukses ya. Sampai ketemu lagi.”
Aku lihat wajahnya yang tersenyum sembari ikut tersenyum juga.
“Iya tante hehe sama-sama kita ya. semoga tante sukses juga ya. Semoga ketemu lagi hehe.”
Tapi karena nama Tante pingkan disebut setelahku, akhirnya kami jalan bersama kembali menuju ke tempat selanjutnya. Ia kembali mengingatkanku tentang arahan dari Mas Dodo. Aku jadi anggap dia sebagai ibu sendiri hari itu.
Kami diikuti yang lain yang semuanya harus wanita, memasuki ruangan kecil. Dijaga oleh seekor kucing jutek dan seekor kera yang suka berkelakar. Disini, orang-orang menunggu namanya disebut untuk dipotret dan memperbaiki berkas yang masih salah. Aku dan Tante Pingkan sempat saling tatap keheranan sewaktu ada seorang pria datang dan maju ke depan ketika namanya disebut. Entahlah.
Di perintah terakhir, kami harus menuju salah satu sangkar merpati sesuai nomor yang diminta. Aku sempat bingung karna tidak menemukan nomor yang dicari. Akhirnya aku tanya oleh seorang wanita yang berusia sekitar 20-an.
Wajahnya chinese dengan kulit putih dan agak kurus. Rambutnya dikuncir kuda. Ia yang ternyata juga kebingungan cuma bisa geleng geleng dengan senyum ramah. Kita berdua jadi saling dumel dan dilanjutkab dengan tertawa berdua.
Setelah tanya salah satu penjaga, akhirnya kami ke sangkar yang dituju. Aku kegirangan ketika akhirnya seekor merpati memberi kartu yang merupakan tujuan utama aku kesana. Nggak lama, Tante Pingkan menghampiriku. Ia juga kegirangan nggak ketulungan. Kami berdua tertawa setengah berteriak saking senangnya.
“Akhirnyaa selesai juga. Semoga kita berdua sukses yaa. Hati hati kamu bawanya ya. Pelan pelan saja”
Kami berdua tos.
Obrolan kami diakhiri dengan bersalaman dan ucapan 'sampai ketemu lagi’ karena saat itu juga kami harus pisah jalan. Dia ke toilet, sedangkan aku ke pintu keluar. Aku pasti akan selalu ingat dia. Seorang ibu cantik dan sangat ramah. Dengan baju pink, legging hitam dan sepatu abu-abu. Semoga sehat selalu, tante Pingkan. Semoga ketemu lagi dan terimakasih atas semuanya hari ini.
Di pintu keluar, aku kembali bertemu dengan wanita kuncir kuda. Kami ngobrol sebentar sambil berjalan ke arah luar gedung. Tapi karena pisah jalan, aku pamit izin duluan ke dia. Sebenarnya masih penasaran karena kami belum sempat berkenalan. Orangnya juga sangat ramah. Aku mau berterimakasih sama dia karena sudah jadi teman bingung.
Ketika menulis ini, aku sedang ada di halaman Musholla yang sebelumnya ke mini market dulu buat beli satu roti cokelat, satu roti keju dan satu kopi kemasan botol. Totalnya 22.000 yang sempat buatku diam sebentar dan pura-pura nggak apa-apa.
Disini aku menunggu dijemput sama bapak. Duduk dilantai warna biru yang bertingkat. Kaki aku sila dan kuletakkan buku Dilan Dilanku tahun 1991 karya Pidi Baiq yang aku niatkan untuk baca kedua kalinya. Sebelahku ada pria yang mungkin berkepala tiga. Bercelana hitam dan pakai kaos kaki warna hitam putih. Ia mengobrol bersama orang disebelahnya bervolume besar dengan bahasa timur yang sepertinya itu bahasa ambon. Tangan kanannya asik pegang rokok yang sebelumnya ia hisap dahulu. Padahal sebelum ia datang, ada seorang kakek yang bilang kepada kami yang ada di halaman musholla yang mayoritas adalah laki-laki kecuali aku sendiri.
“Boleh lama-lama disini sampai sorepun. Asal jangan merokok ya.”
Tak ada satupun yang menegur. Begitupun aku. Masih asik ngetik cerita ini sambil lirik lirik ke kanan. Aku gagal baca Dilan untuk kedua kalinya.
Februari, 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak cukup bagi kita

Jangan terlalu serius

Covid why