Surat di halaman 71




Untuk kamu,
ditempat.


Selamat pagi, siang, sore, malam.
Tanpa salam - salam lagi, kutuliskan surat ini untukmu. Semoga suka, semoga pula tak suka.


Waktu itu hujan. Aku lagi duduk di dalam bis yang sedang melaju menuju arah pulang. Duduk di pojok dekat kaca sambil memandang kendaraan, tukang bakso, atau apapun yang sedang bergerak di jalan. Sedangkan teman di sebelah sedang ngobrol dengan yang lain. Mungkin ia sesekali melihat ke arahku karena bingung kenapa saat itu cuma diam liat pemandangan lalu curi pandang ke layar telefon genggam.

Sejujurnya saat itu aku nggak lagi memandang kendaraan, tukang bakso, atau apapun yang sedang bergerak di jalan. Aku sebenarnya sedang membayangkan. Membayangkan air muka kamu waktu baca pesan singkatnya. Membayangkan pikiran kamu waktu jawab pertanyaannya.

Awalnya aku ada di atas, lebih dari antariksa, nggak jauh dari bintang - bintang. Karena aku kira kamu bakal menolak atau menyegah apapun seperti pengalaman. Sialnya aku kemudian jatuh ke bawah, paling dalam dekat inti bumi. Kamu malah tanya balik yang aku artikan itu isyarat lain dari mengangguk. Kamu juga yang akhirnya menekankan meski sempat repot-repot bawa maaf sama terimakasih.

Sebenarnya aku begitu karena punya maksud. Aku angkat tangan sama beberapa halaman buku kita yang hampir terakhir itu. Diantara halaman 65 sampai 69 sudah nggak jelas. Banyak coretan dan robek sana sini. Bukan, bukan aku yang buat halamannya nggak jelas dengan mencoret atau merobek sana sini. Melainkan kamu. Apalagi di halaman 70 yang lagi-lagi sengaja kamu longkap entah kenapa. Entah kamu sadar atau nggak, yang jelas kamu tidak sedang mabuk.

Aku juga capek menebak rasa kamu. Rasa yang entah masih buah strawberry, apel, melon, atau jadi mangga muda. Tapi sepertinya rasamu sudah berubah jadi obat puyer. Yang jelas aku nggak mau telan lagi, soalnya sudah kelewat pahit.

Nggak tau siapa yang sebenarnya menyelesaikan duluan. Yang jelas setiap orang tanya, aku selalu jawab 'kamu'. Aku sudah bisikkan ke angin, hujan dan debu jalanan. Aku juga sudah titip pesan ke air kali dan jangan tanya kenapa. Aku cuma ingin cepat tersebar karena aku mau pamer. Supaya kamu senang lalu bangga seperti yang dulu pernah kamu bilang.

Waktu kamu menegaskan lagi, aku lagi menuruni tangga bis karena sudah sampai tujuan. Aku langsung memeluk teman yang kebetulan ada paling dekat. Dia kaget mengira mabuk kendaraan atau bahkan pingsan. Mata yang sudah penuh terpaksa dikeluarkan sejadi-jadinya sambil berjalan menuruni jalan turunan dengan hujan yang tiba-tiba datang. Sampai bahkan keesokannya, aku paksa salah satu kawan buat main lalu jalan-jalan. Terserah mau anggap berlebihan atau bohong yang dibuat-buat. Yang jelas, ini sungguhan.

Dari kamu, aku sudah belajar banyak. Belajar pergi dari sesuatu yang main-main. Belajar meninggalkan dari sesuatu yang sudah punya tapi malah asik jatuh sama yang lain. Terimakasih untuk apa-apa yang sudah dikasih. Dari yang kelihatan sampai yang transparan. Meski ada beberapa yang belum sempat dikembalikan. Mungkin nanti, tapi nggak janji. Soalnya sekarang aku lagi sibuk pindah sambil pura-pura amnesia.

Tenang, janji yang kamu kasih nggak akan aku tagih. Sudah aku buang. Biar kamu tenang. Biar kamu nggak merasa berhutang.

Terserah mau anggap ini surat, epilog atau apapun. Pokoknya, aku mau berikan nama ini surat! Aku cuma selipkan ini di halaman paling akhir. Tentang ini, bukan maksud aku mengungkit atau hal buruk apapun. Jangan pede atau sampai risih. Ini datang tiba-tiba ke kepala, nggak jelas dari mana atau siapa. Nggak mungkin salah sambung apalagi salah kirim. Jadi kalau jijik, salahkan diri sendiri kenapa mau baca tulisan ini. Kalau kamu merasa dijelekkan, baca kembali kalimat sebelumnya.



Dari aku yang dulu lebih dari teman. Bukan mamah dedeh, Densus 88, Peserta Indonesia Idol atau Kasih ibu ke pada beta.

Nadira.
Jakarta, Februari 2016.


Ps untuk selain si kamu: Surat ini ada di halaman terakhir, di halaman 71. Bukunya sudah selesai kubaca setahun yang lalu. Lebih tepatnya 17 bulan yang lalu. Jangan cari di toko buku, pasar atau pinjam sekalipun. Nggak akan ada karena nggak dijual. Bukan berarti dengan halaman yang sedikit, akan ada bagian ke duanya. Karena penulisnya aku sama dia. Kecuali kalau salah satu penulisnya minta dilanjutkan atau di ulang dari awal. Tapi itu nggak akan terjadi. Karena kami sama-sama sedang proses buat buku baru. Tapi kolaborasi dengan penulis lain masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak cukup bagi kita

Jangan terlalu serius

Covid why