Obrolan di gang, motor dan hujan



Dengan suara rintik hujan yang beradu dengan jaket hujan, aku duduk di jok belakang motor yang agak basah. Di tengah perjalanan, ku pinta si pengemudi untuk berbelok memasuki jalan pintas. Suatu gang kecil dan sempit, tapi cukup untuk dilewati satu mobil dengan kanan-kiri yang pas mepet tembok.

"Nah, ini belok kanan ya." Aku memberi arahan ketika ada pertigaan tepat di depan kami.

"Ini namanya jalan apa?" Tanyanya tiba-tiba.
"Jalan baru ya?" Tanyanya lagi.
Aku diam. Mengingat-ingat.
"Jalan Solo namanya." Jawabku.
"Jalan Nadira ini namanya." 
"Hahaha." Aku bingung jadi tertawa.
"Kok? Kenapa emang?" Tanyaku kemudian.
"Biasanya penemu jalan atau si penunjuk jalan itu, namanya dijadiin nama jalan."
"Hehehe bisa aja." Aku senyum. Dengan mata kedap kedip karna ditusuk-tusuk tetes hujan.

"Pas itu saya lagi di masjid yang ternyata lagi ada suatu acara yang membahas tentang teroris di Thamrin." Ia kembali memulai obrolan yang daritadi sempat jadi hening lama. Masih di gang sempit tapi cukup dilewati satu mobil dengan kanan-kiri pas mepet tembok. Masih dengan rintik hujan yang beradu dengan jaket hujan. Masih juga duduk di jok belakang motor. Itu aku. Dia masih duduk di depan jadi pengemudi.

"Saya ditanya sama salah satu orang disana. Apa pendapat anda tentang teroris di jalan Thamrin?" Lanjutnya. Ia menceritakan sembari menirukan obrolannya bersama orang lain itu.

"Saya jawab, 'Mereka mati di jalan Thamrin."Terus, orang itu heran sambil ketawa dan bilang 'Hah?'. Saya jawab lagi, 'Karna di dunia ini ga ada jalan Allah. Adanya juga jalan Thamrin.'." Dia tertawa. Dilanjutkan tertawaku. 

"Saya orang jalan. Mana saya ngerti soal itu. Jadi saya jawab itu saja. Terus di sana saya makan banyak karena gratis."

Sekarang dua suara tawa lomba sama hujan. Suara tawa menang. Tapi sebentar. Karna suara hujan lebih awet.

Kami berdua kalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak cukup bagi kita

Jangan terlalu serius

Covid why