Pindah Kota
Ada awan. Ada langit. Ada matahari.
Ada kasur. Ada cermin. Ada lemari
baju.
Ada handphone. Ada pesan. Ada emoji
hati.
Ada langit-langit kamar. Ada
suara-suara televisi. Ada yang sedang berbunga-bunga.
Itu aku. Yang sebenarnya
sedang siap-siap berpesta. Mentraktir seluruh sahabat yang nantinya akan
kerumah. Membeli seblak di dalam styrofoam, sate Madura dan bala-bala. Lalu aku
ajak minum-minum dengan es dalam plastik dengan rasa aneka kopi untuk merayakan
keberhasilanku yang akhirnya sukses pindah dari kota bunga yang sejuk.
Yang hijau.
Yang biru.
Yang luka.
Yang ada
seseorang didalamnya. Yang sedang sibuk belajar dan pulang kerumah diakhir pekan. Yang sudah dua tahun berhasil bikin aku terbayang-bayang. Yang juga sekarang sudah punya orang. Akhirnya aku bisa mengepak barang-barangku dan limpahan perasaan yang sudah tujuh puluh persen sukses pindah menuju ke kemacetan pembangunan jalan
layang di ciledug raya.
Yang panas.
Yang ramai.
Yang baru.
Yang didalamnya
terdapat seseorang yang masih direka pertugas BMKG. Apakah akan cerah, hujan, berawan. Akan jadi hujan air, es atau batu. Atau mungkin malah berubah menjadi berangin, sepoy-sepoy, lalu jadi puting beliung?
Namanya, Kamu. Baru
dua kali aku berjumpa dengan kamu. Nekat memang. Tapi sungguh sama sekali tidak ada paksaan
didalamnya. Entah aku telah terbuai oleh apa dan dengan apa pula. Tapi pada
dasarnya aku sudah cukup paham dengannya selama tiga bulan. Menurutku itu waktu
sudah sangat cukup untuk aku bersama Kamu. Untuk kami. Berdua.
Nama panjangnya,
Kamu Yang Berbeda Dari Yang Lain. Berbeda itu sebutan dariku. Berbeda yang masih diterka oleh
peramal. Akankah bahagia atau sial di tahun ayam api. Ya, salah satu penyebab aku jadi tertarik lalu terdorong dan terjebak adalah karena Kamu itu orang yang
sederhana. Orang yang menurutku apa adanya.
Adanya yaitu
bola, ps dan kasur.
Adanya yaitu
pergi, pulang dan hilang.
Adanya yaitu jam
malam, permainan dan kebebasan.
Adanya yaitu semuanya
yang berkebalikan denganku. Berkebalik lalu jungkir balik. Kita
kebalik katanya. Meski aku juga bisa disebut sebagai orang yang juga apa adanya.
Adanya yaitu internet,
makan-makan dan jalan-jalan.
Adanya yaitu
menetap, tinggal dan mampir.
Adanya yaitu jam
pagi, pembelajaran dan batasan.
Tapi kata orang
dari orang lain mematahkannya. Karena katanya, kekurangan itu menjadi saling
melengkapi. Kebalikan itu menjadi pelengkap.
Lega rasanya. Tapi orang dari orang dari orang lain bilang lagi. Persamaan itu
berarti cocok. Cocok itu karena punya kesamaan. Jadi gundah rasanya. Ingin berpura-pura sama. Tapi nggak bisa karena aku teratur. Masih berjalan di atas bumi. Sedangkan dia bebas. Terbang ke langit ketujuh.
Memang sudah buat gundah.
Karena belum tiga puluh hari saja rasanya ingin garuk tanah lalu menggali dan
ngumpet di magma. Karena si Kamu itu orang yang dingin. Sampai hawanya pun
sudah buat menggigil. Harus pakai selimut, kaus kaki dan mantel yang nggak boleh berbahan plastik yang dibeli di toko sepuluh ribu tiga. Meski aku sempat mengubahnya menjadi hangat selama
seminggu. Yang kami isi dengan romansa, tawa, stiker, emoji, imajinasi dan kesenangan. Tapi mendadak di hampir
enam puluh hari, semuanya kembali dingin lagi. Si Hujan, Si Kutub, tiba-tiba datang sendiri. Bedanya, semuanya malah menjadi beku. Meja,
kursi, kompor, lemari es. Semuanya jadi es. Orang dewasa yang seharusnya kerja jadi memboloskan diri karena cuaca itu. Padahal aku sudah mencoba menaikkan
suhu temperaturnya. Dan berusaha mendatangkan matahari dari langit lapisan lima setengah, pantai dari
Bali dan musim panas dari Amerika Serikat.
Dulu, aku sudah
pernah bilang kalau Kamu itu memang berbeda. Dulu pula aku sudah menyuruh
petugas BMKG untuk memperkirakan dan peramal untuk meramalnya. Yang ternyata semua hasilnya nihil
dan nol besar. Padahal, itu semua sebenarnya tak perlu. Karena pada dasarnya
waktu yang akan menjelaskannya secara pelan-pelan dan dalam tempo yang tidak terlalu sesingkat-singkatnya. Memberikan petunjuk dan tanda-tanda
keburukan atau bisa jadi keajaiban. Yang pada akhirnya, aku tahu sendiri maksud dari
berbeda. Iya, Kamu itu berbeda.
Berbeda karena
lebih dingin.
Berbeda karena
lebih sibuk.
Berbeda karena lebih hilang.
Berbeda karena
pada akhirnya kamu yang paling nggak bertahan lama. Ternyata, berbeda yang lebih banyak salah daripada benar. Lebih banyak salah tujuh dibanding salatiga. Yang paling mudah melepaskan dan
dilepaskan. Dan yang paling mudah melupakan dan dilupakan. Lagi-lagi, aku salah orang. Meski
nggak lebih parah, tapi sebenarnya sama parahnya.
Memang berharap
berlebihan itu jangan karena bisa mengacaukan. Memang juga, perhatian yang
berat sebelah itu juga bisa bikin sakit panas dan flu keseringan. Aku jadi belajar
lagi kalau jangan lagi menjadi gampangan dan terlalu terbuka. Itu kata salah satu
teman laki-laki. Karena, Kamu dari awal saja sebenarnya sudah seperti bercanda.
Permulaannya seperti mengajak main ke Blok M Square, makan sate padang, membeli buku-buku sastra bekas lalu antar aku pulang kerumah. Kamu sepertinya memang bukan serius untuk perasaanmu. Pelampiasan, kata teman-teman perempuanku. Lalu
diperjalanannya-pun juga demikian. Mudah hilang dan mudah bikin aku main
tebak-tebakan sendirian lagi tiap malam.
Apa benar atau tidak.
Apa sayang atau tidak.
Apa main-main atau tidak.
Dan yang terakhir, inilah akibatnya. Ujung dari setiap
cerita. Tapi tak apa. Karena belajar itu bisa dari mana saja, kan? Terbaiknya, aku jadi lebih banyak belajar dua atau bisa dibilang lima bulan ini. Selain dari belajar writing, literature, reading, MOT dan seluruh mata kuliahku lainnya.
Jadi, terimakasih
atas tebengan, tiket nonton, es krim dan kentang gorengnya! Kapan-kapan aku balas!
Nadira
April, 2017.
Komentar
Posting Komentar