Hingga Gerbong Akhir
Alarm yang sengaja ia setel semalam berbunyi. Dengan sigap,
Venus bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar tidurnya dengan nyawa
yang masih belum terkumpul. Sambil menguap beberapa kali, Venus menaiki tangga
menuju lantai atas. Ia menengok ke arah jam yang tak jauh darinya. Terlihat
jarum pendek yang masih mengarah ke angka enam. Biasanya jam segini, papa Venus
sudah siaga didepan televesi. Tak mau ia melewatkan sedikitpun berita terkini.
Tapi kebiasaan pagi
itu tidak seperti hari ini. Semua lampu masih dimatikan. Kecuali beberapa lampu
kap kecil yang sengaja dinyalakan semalam. Papa Venus memang menghilang untuk
beberapa hari ke depan karna dinas luar kota yang mendadak.
Venus sampai di lantai atas. Masih belum ada tanda-tanda
kehidupan yang muncul. Venus berjalan menuju suatu koridor disebelah kanan
tangga. Ia berhenti tepat di tengah dua pintu kamar yang masih tertutup rapat.
Tanpa berpikir panjang, dibukanya pintu kamar di sebelah kirinya yang penuh
dengan tempelan tempelan poster dan sticker Barcelona. Keadaan kamar masih gelap
dengan cahaya-cahaya kecil yang muncul dari celah-celah gorden dan pantulan
cahaya dari layar laptop yang masih menyala. Terlihat samar-samar seseorang yang
masih tertidur dibalik selimut tebal. Pandangan Venus langsung beralih ke meja
belajar tepat disamping tempat tidur. Terdapat penuh buku-buku akutansi,
ekonomi dan buku besar lainnya yang
berserakan. Gumpalan kertas-kertas memenuhi kolong meja. Beginilah situasi
kamar Rian sekarang. Sibuk mengurusi skripsinya yang belum kelar sampai hanya memiliki
waktu tidur singkat.
Bang Rian pasti lagi koma… gumam Venus mengangguk sendiri. Tak ingin
menganggu Rian yang tertidur pulas, Ia langsung balik arah ke luar kamar
tersebut.
Tujuan Venus terakhir adalah masuk ke satu pintu kamar
disebelah kamar Rian. Pintu kamar yang penuh dengan poster band-band luar
favorit si penghuni kamar. Venus mengintip pintu tersebut sejenak. Terlihat
seseorang berbaring santai di tempat tidur dengan kaki yang sengaja disenderkannya
di dinding kamar. Terpasangnya headset di kedua telinganya.
Venus langsung nyengir lebar. Melongokkan kepalanya kedalam
sembari memanggil laki-laki itu sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu.
“Bang…”
Yang dipanggil tidak
menyahut.
“Bang Gian..”panggil Venus lagi. Gian malah asik menyanyikan
lirik lagu yang didengarnya.
“Bang Gian!” Untuk ketiga kalinya Venus memanggil dengan
volume yang agak dibesarkan. Gian tetap tidak menyahut. Dengan kesal, Venus ngeloyor
masuk menghampiri Gian. Dilepaskannya salah satu headset yang terpasang yang
dilanjutkan dengan berteriak.
“Bang Gian!
Dipanggil juga!”
Gian kaget mendengarnya. Ia segera bangkit dari posisinya
karna terusik. Dilepaskannya satu headset yang masih terpasang di telinganya.
“Ada apaan sih, Ven? Pagi-pagi udah ganggu aja!”
Venus diam sebentar.
Gian menaikkan satu alisnya.
Menunggu jawaban Venus.
“Bang… Hari ini Mars
pergi…”
“Terus?”
“Abang
bisa kan anterin aku ke stasiun?” kata Venus lagi. Wajahnya memelas.
“Kamu juga biasanya ke alun-alun
sendiri. Masa ke stasiun aja ditemenin.”
“Bang tapi hari ini aku mau ditemenin!”
“Udahlah jangan manja, Ven,” Gian menjawab sekenanya. Dihempaskannya
tubuhnya ke kasur.
Melihat Gian yang acuh tak acuh,
Venus menghela nafas. Begitulah sifat satu kakak laki-lakinya. Gian yang selalu
Venus kesali karna cuek dengannya. Berbeda sekali dengan Rian yang sangat
perhatian dengan Venus.
“Bang… Hari ini aku lagi enggak mau kemana-mana sendiri…”
“Kenapa ga ajak Bang Rian?” Tanya Gian singkat. Dipasangnya
kembali salah satu headset di telinganya.
“Sebenernya aku mau suruh Bang Rian nganterin. Tapi karna
Bang Rian abis begadang, terus aku ngeliat Bang Gian gak ada kerjaan, aku minta
abang buat nemenin aku.”
Gian malah diam memejamkan matanya.
Bersenandung lagu yang ia dengarkan.
Venus menghela nafas melihat Gian
yang tak peduli.
“Ya sudah deh, kalo Abang emang nggak
mau.”
Sambil menahan kesal, Venus kembali menuju kamarnya.
Menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya nanti. Bibirnya berkali-kali menggerutu. Bang Gian jahat!
--
Jemari Venus sibuk
mengikat tali sepatu terakhirnya. Selesainya, ia langsung menyambar tas
disebelahnya. Tas yang berisi berbagai snack dan satu stel baju ganti yang
sengaja ia bawa untuk berjalan-jalan selesainya menemui Mars di stasiun. Entah
mau kemana kakinya akan berarah. Yang jelas, ia akan menghibur hatinya dengan
berjalan-jalan. Prambanan, Keraton, atau sekedar berjalan-jalan di Jalan
Malioboro adalah tujuannya selanjutnya. Bosan memang. Tapi apa boleh buat? Batin Venus menaikkan bahu.
Venus berjalan keluar rumah. Dimasukkannya kunci ke lubang gembok
pagar rumahnya tergesa-gesa sehingga membuat gembok sulit terbuka. Venus
berusaha memutarkan kembali kunci perlahan. Tetap saja gembok macet. Panik,
Venus melempar tasnya keluar pagar. Kedua kakinya sudah ancang-ancang siap
memanjat pagar. Hendak menaikkan kaki kanannya ke salah satu besi pagar, tiba-tiba
ada sebuah tangan besar meraih kunci yang Venus genggam dari belakang. Venus
menurunkan kembali kaki kanannya. Orang itu dengan santai memasukkannya kunci ke
lubang gembok hingga terbuka. Venus langsung menoleh ke belakang. Terlihat Gian
dengan wajah datar.
“Ngapain pake manjat segala?”
“Bang, Mau kemana?”
“Gak mau nih dianterin? Yaudah…” Gian membalikkan badannya
sok cuek.
“Eh.. Engga bang! Oke! Ayo anterin!” Venus meloncat-loncat
kegirangan.
“Yaudah, kamu buka dulu pagarnya yang lebar.”
“Kok …”
“Mana bisa mobil keluar kalau dibukanya cuma segini.” Ucap
Gian melengos pergi menuju garasi.
“Kok bawa mobil, bang?”
“Yaudah ah jangan bawel!”
Dijalankannya mobil
sedan warna hitam menuju luar rumah. Venus dengan semangat mengebu-ngebu
menutup pagar rumah. Hingga terdengar suara dentuman besi pagar yang
bersentuhan.
--
Pagi itu, Suasana Stasiun Tugu sudah padat merayap. Suara
bising pedagang, pengumuman dan para penumpang lain sangat pekak di telinga.
Venus meraba-raba kantung celananya, mengambil secarik kertas. Dibacanya isi
secarik kertas itu dengan seksama.
“Kereta Argowilis jam tujuh…” Venus diam sebentar.
“Jam tujuh?” Venus mengulang. Gian yang mendengarnya langsung
menarik kertas dari tangan Venus.
“Hah, jam tujuh?!” Gian membaca ulang akhir kata di kertas
tersebut. Venus hanya mengangguk pelan melihat respond Gian.
“Kenapa gak bilang! Ini mau jam tujuh, Ven!”
Gian yang tadinya
malas-malasan berjalan mengikuti Venus dari belakang, kini mengambil alih. Ia
berjalan didepan Venus dengan langkah cepat. Melewati kerumunan orang-orang disekitarnya
yang tak ia pedulikan. Jemarinya menggenggam erat lengan Venus. Yang ditarik lengannya hanya melihat wajah
Gian sambil tersenyum. Aku tau sebenernya
abang itu gak cuek… batin Venus.
Tiba-tiba Gian berhenti di salah satu gerbong kereta putih
dengan garis biru. Tertera ‘Argowilis’ dan ‘C’ dengan jelas di badan gerbong.
“Ini keretanya! Gerbong berapa?” Tanya Gian. Volume
suaranya agak dibesarkan.
“C!C!” jawab Venus tak sabaran. Raut wajahnya berseri-seri.
Dengan hitungan detik, Venus langsung ngeloyor pergi bergabung dengan kerumunan
orang-orang yang akan memasuki gerbong tersebut.
“Ven! Venus! Mau kemana, Ven?! Venus!” teriak Gian
kelabakan melihat Venus yang bergabung dengan sekumpulan orang didepan pintu
masuk gerbong. Yang dipanggil tidak menyaut. Venus malah makin mengegas
langkahnya dan seketika hilang dikerumunan orang-orang tersebut.
Venus gerusukan melewati orang-orang yang hendak menaruh
barang-barang. Beberapa orang yang menggerutu karna tersenggol, Venus hiraukan.
Sesekali ia mendangak mencari ciri-ciri yang dimaksud. Ia terus mencari hingga
tepat didepan pintu gerbong dengan tempelan huruf ‘D’ dibagian kaca.
“Ini udah mau ke gerbong D. Gak mungkin Mars disana. Udah
jelas-jelas disini tulisannya gerbong C.” pikir Venus bingung. Ia langsung
membalikkan arahnya. Mencari ciri-ciri Mars dengan teliti. Terlihat dua baris
dari posisinya seorang laki-laki dengan beanie hitam sedang duduk anteng
melihat arah luar.
“Mars!” panggil Venus kegirangan. Yang dipanggil menoleh
sambil tersenyum. Venus langsung menghampiri Mars. Begitu juga Mars yang
langsung bangkit menghampiri Venus. Ditengah gerbong kereta, mereka saling
menyapa. Sapaan terakhir yang entah sampai kapan akan diulang.
“Hati-hati ya Mars! Jangan lupain gue!”
“Iya Ven! Hati-hati juga!”
“Gue pasti bakal kangen banget sama lu Mars!” ucap Venus.
Matanya mulai berkaca-kaca.
“Gue juga pasti bakal kangen sama sahabat gue yang suka
tidur ngigo!”canda Mars reflek memeluk Venus. Pelukan persahabatan yang tak
tahu sampai kapan akan terus disebut ‘sahabat’. Suara dentingan bel kereta
membuat Venus melepaskan pelukan Mars.
“Keretanya mau berangkat…”
“Yah… Padahal baru sebentar sedih-sedihannya…”
“Yeh… elo! Hahaha…”
“Sampai ketemu di Jogja lagi ya Mars!” kata Venus lagi.
“Sampai ketemu di Bandung juga, Ven! Gue tunggu lo disana!”
Venus tersenyum simpul. Begitu juga Mars. Dengan tos ala
mereka dan suara dentingan bel kereta, Mereka mengakhiri percakapan saat itu.
Dilanjutkan dengan langkah sepatu converse Venus yang berjalan menjauhi Mars
menuju pintu gerbong yang akan ditutup. Mars hanya melihat punggung sahabatnya
menjauh.
Venus keluar dari pintu kereta. Gian yang sejak tadi
menunggu, menghampiri Venus kelabakan.
“Ven! Gila lo, kalo kebawa ke Bandung gimana?! Tadi
keretanya udah mau berangkat!” gerutu Gian. Venus hanya tersenyum.
“Mau langsung pulang atau gimana?” Tanya Gian lagi.
“Tunggu keretanya berangkat ya, bang.” Jawab Venus. Kedua matanya menatap gerbong
yang baru ia turuni.
Gian menghampiri suatu bangku kosong. Diajaknya Venus untuk
duduk disebelahnya.
Seluruh pintu gerbong kereta api telah ditutup untuk siap
berjalan. Terakhir kalinya terdengar suara dentingan bel kereta yang siap
berangkat. Perlahan kereta berjalan menjauhi stasiun. Begitu juga gerbong D.
Terus berjalan menjauhi kursi yang Venus huni. Terus melaju sehingga hanya membuat
gerbong terakhir yang terlihat.
“Ven…” Gian merangkul Venus.
“Ya, bang?”
“Yang namanya persahabatan itu gak akan benar-benar berakhir.”
“Kayak kereta itu. Terus melaju menjauh dari stasiun.
Hingga gerbong terakhir terlihat kecil, kecil, dan menghilang… Pasti, kereta
itu akan kembali ke stasiunnya.” Gian melanjutkan.
“Apa akan terus kembali ke stasiun tepat waktu, Bang Gian?”
“Tergantung kondisi. Kalau ada kesalahan teknis, mungkin
keretanya gak akan tepat waktu. Atau malah kalau ada kecelakaan, mungkin saja
keretanya gak akan kembali.”
Venus mencerna kata-kata Gian kembali. Membayangkan apa
‘kesalahan’ yang akan membuat persahabatannya tidak seperti semula.
“Udah yuk, pulang. “
Gian bangun dari posisinya. Digandengnya adik perempuannya
yang menunduk. Berjalan menuju pintu keluar.
Venus tiba-tiba berhenti melangkah. Ia menoleh ke belakang.
Memerhatikan kereta yang semakin kecil dilihat. Kecil. Kecil. Hingga gerbong
akhir menghilang.
Komentar
Posting Komentar