Penghuni Bumi
“Tumben pagi-pagi kamu
udah lari pagi! Biasanya jam segini kan kamu masih hibernasi, Ven.” Celetuk
Rian melihat adiknya memasuki rumah dengan sepatu ket yang ditentengnya.
“Besok-besok
kamu bangun pagi terus olahraga kayak gini lagi dong! Biar kamu ga kayak
beruang. Kerjaannya kalo ga makan ya tidur, terus keluyuran ga jelas sama Mars
ke alun-alun …” sambar Gian. Ditoyornya kepala Venus disebelahnya.
Dengan cekatan, Venus
mengambil mangkuk berisi mie yang masih hangat dari tangan Gian.
“Keluyuran ke alun-alun
kan sama aja olahraga, bang! Lari juga!”gerutu Venus. Mulutnya penuh dengan mie
hasil bajakannya dari Gian.
“Lari sih lari, Ven..
Tapi jangan bajak mie orang juga kale!” Gian kembali menyambar mie nya.
“Tenang aja.. Besok aku
bakal hibernasi lagi. Tapi jadwalnya bakal diubah. Makan, tidur, terus makan
lagi!” Ujar Venus melengos pergi ke kamarnya. Dilanjutkan menutup pintu kamar
berposter Monster Inc favoritnya.
“Loh, keluyuran sama
Marsnya udah diapus dijadwal, Ven?” Tanya Rian setengah berteriak.
Venus membuka pintu
kamarnya, melongokkan kepalanya keluar.
“Mars besok pindah!”
cetusnya sambil kembali menutup pintu kamarnya. Gian dan Rian yang melihatnya hanya
terheran-heran.
“ Mars beneran pindah,
bang?”
Rian menaikkan bahunya.
“Gua gak tau seberapa
ancurnya jadwal Venus kalau diganti.” Ucap Gian meneguk kuah mie yang tersisa.
“ Gua juga gak tau
gimana perasaan Venus selanjutnya.” Rian menimpali.
--
“Venus, bangun.. Ada
tamu tuh!” terdengar suara Rian mengetuk-ngetuk pintu kamar.
“Venus sayang, ada tamu
nih..” timpal suara dewasa lainnya setengah berteriak.
Venus langsung membuka matanya. Ia diam
sebentar. Berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih belum lengkap.
“Siapa?” Tanya Venus.
Ia kembali memejamkan matanya. Berniat melanjutkan mimpinya kembali.
“Kak Nissa sama Tante
Luna!” balas Rian dibalik pintu.
Venus malah tak member
respon.
“Ada Mars juga tuh!”
Bagai diestrum, Venus langsung
melonjak dari tempat tidurnya. Buru-buru ia menguncir rambutnya yang
terurai sebahu. Bercermin sambil merapih-rapihkan
pakaian yang dikenakannya. Venus membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju
ruang tamu.
“Venus..” sapa seorang
wanita lembut dengan setelan blazer hitam dan rok kerja selutut tepat disebelah
Mars dan seorang perempuan yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Venus
menyalami mereka tak terkecuali Mars dengan senyum.
“Abis dari mana kamu,
Lun? Tumben sekali datang kesini…” Tanya ayah Venus pada wanita dewasa itu
dengan ramah.
“Abis dari jemput si Nissa
dari kost-annya.”
“Anakmu sudah
besar-besar ya sekarang, Ndi… Rumah kita deketan tapi malah jarang ketemu…”
kata wanita itu lagi.
“Kamu sibuk sih, Luna..
Aku sih malah sering banget ketemu si Mars. Hahaha…”
“Duh, maaf ya kalo Mars
suka ngerepotin kamu. Iya nih saya banyak client jadi gak sempet pulang ke
rumah. Apalagi bertamu ke rumah kamu. Maaf juga saya gak bilang kalau mau
datang kerumahmu …”
“Hahaha.. Engga
apa-apa. Lagian Mars juga udah aku anggap anak sendiri. Kamu masih kaku saja,
Lun. Santai sajalah …”
Beberapa menit Venus hanya
duduk memainkan kedua kakinya ke kaki kursi. Membiarkan obrolan orang-orang
disekitarnya. Ia tahu benar maksud kedatangan Tante Luna, Mars dan kakak
perempuannya, Nissa saat ini. Lamunannya buyar ketika ia menoleh ke arah Mars
yang berusaha memberikan kode sejak tadi. Jemari Mars menunjuk ke arah luar
rumah. Venus mengangguk dilanjutkan mengekori Mars dari belakang.
Ditemani langit malam, mereka
menyusuri jalan-jalan Jogjakarta. Tidak ada obrolan basa-basi dari mulut mereka.
Hanya terdengar suara derapan kaki orang-orang sekitar, bisingnya kendaraan
yang lalu lalang dan terkadang suara siulan Mars.
“Duduk dulu ya Ven, capek.” Ajak Mars
mengempaskan tubuhnya disebuah tempat duduk. Venus mengangguk.
“Hmm….”
“Kenapa, Ven?” tanya
Mars melirik Venus.
“Ideologi yang bilang
kalau cowok itu dari Mars dan cewek itu dari Venus…. Apa lo masih percaya?”
Mars menjawab dengan
anggukan santai.
“Awalnya gua emang nggak percaya. Buktinya, gue sebagai cewek dari Venus dan lo sebagai cowok dari Mars…
Ya kita sahabatan yang seharusnya kita gak bisa jadi sahabat deket karna… Hm…
Lo tau kan kita dari planet berbeda? Kita seharusnya gak saling ngerti!” Entah apa yang keluar dari mulut Venus
barusan. Rangkaian kata yang belum ia susun matang, keluar begitu saja.
Kata-kata yang sudah beberapa hari ini tersimpan di benaknya. Tidak tahu
bagaimana cara untuk mengungkapkannya, dengan siapa akan diungkapkannya.
“Terus?” Mars balik
bertanya. Menggarukkan kepalanya yang tidak gatal.
Venus tak menjawab.
Sulit ia menjelaskan maksud kata-katanya barusan yang seharusnya tidak
diucapkan. Apalagi berbicara langsung ke si ‘pelaku’.
Tiba-tiba Mars berdiri.
Memasukkan kedua tangannya di saku celana jeans selututnya.
“Hmm.. Oke, gua awalnya nggak emang percaya. Tapi kayaknya percaya deh buat sekarang.”
Venus tersentak
mendengarnya.
“Ma.. Maksudnya?”
“Eh maksut gua…”
“Udahlah lupain!Hahaha …” sergah Mars tertawa
garing.
“Oke, besok kereta gua
berangkat jam 7. Gua harap lo gak lupa dadah-dadahan sama sahabat lo yang
ganteng “ini!” ia melanjutkan.
Ditempat yang sama, dua
tahun yang lalu, Venus dan Mars membicarakan hal yang sama. Tentang dua manusia.
Tentang dua planet berbeda. Entah mengapa Venus jadi ingat momen itu. Momen
janji untuk selalu menjadi penghuni ‘bumi’.
“Aku tadi abis baca di
majalah pacarnya Bang Rian, Mars!” seru Venus heboh. Ia masih menggunakan kata
‘aku’ di bahasa kesehariannya saat itu.
“Hah? Terus?”
“Di salah satu halamannya,
ada yang ngejelasin tentang cewek sama cowok.”
“Hii.. Majalah dewasa
ya?” gurau Mars terkikik.
Venus memanyunkan
bibirnya.
“Ihh… Bukan! Jadi gini… Ada suatu ideologi
yang bilang kalo cewek dari Venus, cowok dari Mars!”
“Maksudnya? Aku sama
kamu dari planet yang berbeda gitu?” Mars malah mengernyitkan dahinya
kebingungan.
“Kalo kata Kak Gina pacarnya Bang Rian
sih, maksudnya itu.. Kita diibaratkan lahir dalam lingkungan yang berbeda.
Cewek sama cowok itu berbeda satu sama lain.”
“Loh? Bukannya cewek sama cowok itu emang beda ya?”
“Dengerin aku selesai ngomong dulu,Mars!” protes Venus.
Yang diprotes hanya terkekeh. Mars membenarkan posisinya
sembari mendengar celotehan sahabatnya disebelahnya.
“Nah karna lahir di planet yang berbeda, mereka jadi gak
mengerti satu sama lain!” lanjut Venus menjelaskan.
Tak ada respon dari Mars. Ia malah diam mengamati langit.
“Mars? Ngerti gak
sih?!”
Mars hanya
mengangkat bahunya.
“Ih susah ya ngomong sama anak SD yang pikirannya itu gak
fokus! Malah kemana-mana! Daritadi aku ngomong, kamu malah nggak dengerin!”
dumel Venus.
“Topiknya ketinggian buat anak SD, Ven!”
Venus menghela nafas melihat wajah sahabatnya dengan mulut
menganga. Persis seperti wajah Nobita tanpa kacamata yang kebingungan.
“Jangan tampang kayak gitu ah! Mirip Nobita yang abis rebut
sama Giant tau!” cetus Venus melempar beberapa daun yang ia ambil disekitarnya.
Mars hanya cemberut. Dihempaskannya tubuhnya di rerumputan.
“Jadi, ngerti nggak yang tadi aku bilang?”
“Ngerti intinya sih. Hmm… Pantes Kak Nissa suka berantem
sama pacarnya!”
“Nah itu dia! Tapi bentar deh..” Venus berpikir sebentar.
“Kalo cewek sama cowok itu gak mengerti satu sama lain,
kenapa kita engga ya? Perasaan kita saling ngerti satu sama lain.. Kita malah
sahabatan, enggak pernah berantem serius lagi!” lanjutnya lagi.
“Betul juga! Mungkin, ideologinya salah!” seru Mars.
“Tapi, kenapa Kak
Nissa suka berantem sama pacarnya?”
“Ya.. Mungkin pacarnya Kak Nissa emang dari planet Mars!
Nah kebetulan kita itu sahabatan bareng karna lahir dari planet yang sama!
Yaitu bumi!”
“Berarti kita bisa sebut pacarnya Kak Nissa itu alien dari
Mars?”
Mars tegelak mendengarnya.
“Bisa jadi! Hahaha…”
“Ya semoga aja kamu gak berevolusi jadi alien, Mars! Biar
kita bisa jadi sahabat terus!”
“Kamu juga, Ven! Meskipun nama kita itu sama dengan nama
planet, bukan berarti kita beda planet ya! Kita harus satu! Kita harus di
bumi!” tambah Mars nyengir lebar.
Dengan gaya tos ala mereka, Venus dan Mars berjanji satu
sama lain. Berjanji untuk selalu menjadi ‘Penghuni Bumi’ yang mengerti satu
sama lain. ‘Penghuni Bumi’ yang setia.
Mata mereka kembali mengamati sekeliling, tanpa percakapan.
Tidak ada lagi topik yang harus diobrolkan. Tak ada lagi kata-kata basi yang
dilontarkan.
“Balik yuk, Ven! Kayaknya nyokap gua udah nunggu dirumah
lo.” Mars menepuk pundak Venus yang sontak membuat Venus kaget. Ia langsung
beranjak dan berjalan mengikuti Mars dari belakang.
Ditengah perjalanan, Mars berhenti melangkah.
“Sekarang malam
terakhir disini! Harus bener-bener nikmatin pemandangan di Jogja! Harus ngehirup
banyak oksigen disini buat dibawa pindah besok!” ucap Mars. Dihentangkannya
kedua tangannya di udara.
Venus hanya tersenyum tipis.
“Udahlah lo jangan banyak gaya, Mars! Hahaha… Ayo jalan!”
Tukas Venus tertawa kecil sembari mendorong tubuh Mars dari belakang.
Malam ini adalah malam yang biasa seperti malam-malam
sebelumnya. Udara yang sama, langit yang sama dan suara bising lalu lalang yang
sama seperti biasanya. Meski begitu, ada sesuatu yang Venus anggap tidak biasa.
Apalagi kalau bukan tentang Mars. Malam
yang sama dengan suasana yang berbeda. Suasana jalan-jalan malam ‘terakhir’
bersama Mars di Jogja. Venus pasti akan selalu ingat semua momennya dengan Mars
yang sekalipun momen itu tidak penting. Suara siulan, gelang merah-biru, sepatu
converse yang sengaja diinjak, baju gombrong, celana selutut, kibasan rambut …. Venus akan selalu ingat semua hal sepele itu.
Ditariknya kupluk warna merah yang ada di atas kepalanya
hingga menutupi kelopak matanya. Membiarkan pandangannya gelap dengan warna
merah berbahan rajutan tersebut. Membiarkan ‘penghuni bumi’ itu lepas di planet lain.
Komentar
Posting Komentar