Rindu dan Kenangan
Jogjakarta,
Juni 2007
Sisa hujan tadi
malam menimbulkan suasana sejuk pagi ini. Tidak ada salahnya jika kesejukan itu
membuat seorang pria yang beberapa tahun lagi akan menginjak kepala empat,
duduk di teras rumahnya untuk menikmati bau khas embun seperti yang biasa ia
lakukan tiap Minggu pagi. Dengan sarung yang masih ia kenakan usai solat subuh
tadi, ia pelan-pelan menyeruput kopi pertamanya hari itu. Sesekali ia
membetulkan posisi kacamatanya.
Kesendiriannya selama lima tahun tahun, tidak
membuat pria itu tidak menikmati rasa kopi yang ia buat sendiri sambil membaca
headline koran yang baru saja datang dari tukang koran langganannya. Meski
begitu, kerinduan suasana lima tahun silam sangat melekat dibenaknya tiap kali
ia menoleh ke sebuah kursi kosong disebelahnya. Kerinduan akan rasa kopi dan
seorang wanita yang membuatnya. Seharusnya
kamu ada disini, Ren... gumam pria itu.
“"Pagi, Om Adi..." sapa seorang
anak laki-laki dengan sepeda hitamnya berhenti di depan pagar sambil tersenyum.
Matanya yang lebar,rambut agak dengan tungkai kaki yang panjang terlihat
disela-sela besi pagar. Ciri fisik yang sudah sangat pria itu hapal tanpa harus
menganalisa detail anak laki-laki didepannya. Ia segera menaruh koran yang
dibacanya dan membukakan pintu pagar.
“
Eh Mars.. Sendirian aja? Papa-mu udah di rumah?” Tanya pria itu merangkul Mars.
Mereka memang sudah sangat akrab.
“Iya
nih, Om. Papa masih di Kalimantan, katanya lagi banyak proyek.”
“Terus,
kakakmu masih suka terlambat ke sekolah? Hahaha…”
“Hahaha…
Udah engga, Om. Haduh.. Gara-gara sering dijemur di lapangan, dia akhirnya nge
kost di deket sekolahnya.”
“Bagus
deh kalo begitu.. Habis udah sekolahnya jauh, kakakmu kelamaan dandannya lagi..
Hahahaha…”canda Pria itu sambil tertawa. Mars ikut tertawa.
Mars adalah anak bungsu dengan satu kakak perempuan. Orangtuanya yang
dinas diluar kota dan kakak perempuannya yang jarang dirumah karna harus kost,
membuat ia selalu keluyuran karna bosan dirumah. Ukuran rumahnya yang bisa
disebut cukup besar itu hanya berpenghuni satu pembantu rumah dengan satu supir
yang siap mengantarkan pemilik rumah kemanapun. Jadi, tidak heran jika Mars
sering merasa kesepian dan memutusukan untuk menginap dirumah Venus.
“Venus, Ada Mars nih …” panggil pria itu. Kepalanya
melongok kedalam rumah.
“Iya tunggu sebentar, Yah..”
Yang dipanggil tergopoh-gopoh berlari
keluar rumah.
Venus mengamati laki-laki yang ternyata sahabat
karibnya. Amatan matanya seperti melihat orang gila yang baru saja sembuh dari
kejiwaannya. Ia kaget melihat sahabat karibnya itu sudah rapih dengan kaos
putih berlengan pendek warna biru, celana selutut dan sepatu ket putih. Cara
berpakaian Mars yang berbeda dari kesehariannya. Biasanya Mars hanya berpakaian
apa adanya jika berkunjung kerumah Venus. Apalagi kalau masih pagi seperti ini.
Datang dengan kaos gombrong, celana selutut, sepatu converse yang selalu
diinjak dibagian belakangnya dan juga rambut gondrongnya yang acak-acakan karna
bangun tidur ditambah karna hembusan-hembusan angin ketika bersepeda selama
diperjalanan. Ya, cuma celana selututnya saja yang tak berubah seperti
sekarang.
"Kemarin, gua nonton geng gembel di tv.
Mungkin sebentar lagi lo bakal dijemput mereka karna salah satu anggotanya
hilang dan malah nyasar di salah satu rumah orang cantik." Cerocos Venus
saat itu.
"Dan mungkin, gua bakal ngasih tau mereka
kalau ada satu anggotanya yang sudah lama hilang dan sekarang ngaku-ngaku jadi
orang cantik." Mars berkata tak mau kalah.
Cara berpakaian Mars layaknya gembel sejati malah
membuat banyak perempuan sebanyanya yang ingin mendekatinya. "Dia itu
keren.. Kece.. Cool!" jawab salah satu teman Venus dengan mata berbinar
ketika Venus menanyakan alasannya kenapa bisa naksir dengan sahabatnya yang
seperti tahanan baru bebas itu.
“Kenapa
bengong aja, woy?” Tangan Mars melambai-lambai didepan wajah Venus.
“Gua
tau pikiran yang ada di otak lo sekarang ini pasti aneh-aneh..” cetusnya lagi.
Venus
masih bengong.
“Ayo
kita jalan-jalan ke Malioboro!”
“Hah?”
“Iya
Malioboro! Jangan kebiasaan ngomong ‘hah’ deh!”
“
Tapi gue ga ada sepeda …” Venus memelas menunjukkan sepeda dengan ban yang
sudah bocor disebelahnya.
"Udah.. Itu mah gampang!" Mars
tersenyum sambil mengancungkan ibu jarinya. Logat Jakarta gaul mereka yang
masih mereka pakai, membuat mereka berbeda di lingkungannya terutama karna gaya
bahasa mereka. Tapi, hal itu malah membuat banyak teman sekolahnya yang ingin
berteman dengan mereka.
Mendengar
jawaban Mars, Venus berlari ke kamarnya. Mengganti pakaian dan memakai sepatu
ket biru kesayangannya.
Buru-buru
ia menghampiri Mars yang sudah menunggu di teras.
"Sudah siap bos!" hormat Venus spontan
membuat Mars yang kaget mendengar nada tingginya.
“Pergi
dulu ya, Ayah..” pamitnya.
"Hormat pada kapten kita!" Mars berseru
seraya memberi hormat. Ayah Venus membalasnya dengan hormat. Sarung yang ia
kenakan dan pose hormat yang beliau lakukan barusan, membuat Venus jadi
terkikik sendiri karna teringat penjaga pos siskamling di pertigaan dekat
rumahnya.
"Kalo keadaan Ayah kayak gini, Ayah lebih
mirip hansip ketimbang kapten!" celetuk Venus seraya berlari keluar pagar
diikuti Mars yang menuntun sepeda hitamnya.
“Oke,
sekarang gua duduk dimana dan lo duduk dimana? Tanya Venus. Jarinya menunjuk
sepeda Mars yang hanya memiliki satu jok.
“Gua
pastinya duduk di jok ini!”
“Nah
gue?”
“Lo
duduk di pentil!”
“Hah?!”
“Di
ban deh..”
“Hah?!”
“Lo
jalan sendiri…”
“Hah?!”
"Yaudah deh.. Lo berdiri disini.."
jawab Mars pasrah mendengar jawaban sahabatnya yang hanya "Hah" saja.
Padahal, jawaban 'Hah' itu merupakan jurus jitu Venus kalau ia sedang tidak mau
mengalah. Dan Mars sangat hapal dengan kata dan ekspresi sahabatnya itu ketika
mengucapkannya.
“Nah
gitu dong.. Itu baru sahabat gua! Hehehe…” Venus nyengir.
“Tapi pulangnya elo yang harus bawa!”
Dengan
wajah putus asa, Mars menaiki sepedanya.
Kaki Venus menaiki sanggahan kaki di sepeda Mars.
Diam-diam ia cengengesan melihat tingkah sahabatnya yang mudah mengalah. Persis
seperti yang dilakukan kedua kakaknya dirumah ketika ia meminta untuk mengganti
channel tivi yang kedua kakaknya tonton dengan channel favoritnya.
Venus dan Mars mempunyai beberapa kesamaan. Punya
selera musik yang sama dan tidak suka dengan kesunyian. Venus juga penggila
olahraga walaupun tidak sejago Mars. Mereka sangat suka menghabiskan waktu
untuk menonton deretan CD film dilemari Mars dan membaca deretan komik di rak
buku Venus. Saling percaya dan mendukung, itulah alasan mengapa mereka bisa
bersahabat sampai sekarang.
“Gua
berasa jadi kuli ngebawa tiga karung beras sepuluh kilo! Sumpah berat abis lo!”protes Mars. Kedua
tungkai kakinya mengayuh sepeda dengan laju santai walau agak berat.
Yang
diejek malah terbahak dengan bangga.
“Lebih
tepatnya empat karung beras, Mars! Berat gua kan empat puluh!”
--
"Satu lagi ya Pak, es dawetnya..." pesan
Venus kepada penjual es Dawet ketika ia berhenti di pinggiran Jalan Malioboro.
Ia duduk di salah satu bangku yang sudah disediakan. Begitu juga Mars yang
masih mengelap keringat yang bercucuran diwajahnya usai bersepeda tadi.
Tiba-tiba
Mars tertawa cekikikan.
Venus
menoleh kearah Mars bingung. Mulutnya masih asik menyedot minumannya.
“Nyedotnya
jangan dalem-dalem, Ven!”
“Gua
tau kalo lo iri sama gua karna minum duluan, Mars!”gerutu Venus tak peduli.
“Ngapain
iri, nih gua udah dapet!” Mars
beranjak dari kursinya dan menyambut plastik es dawet dari tangan penjualnya.
Dijulurkannya lidahnya bermaksud meledek. Venus yang melihatnya hanya mencibir
dan melanjutkan menyedot minumannya yang tinggal sedikit.
Jam tangan Venus telah menunjukkan pukul Sembilan
tepat. Dipandangnya semarak Jalan Malioboro. Lebih ramai karna liburan kenaikan
sekolah sudah dimulai. Banyak turis lokal maupun nonlokal berlalu lalang. Ada
yang berbelanja, ada juga yang hanya sekedar jalan-jalan untuk cuci mata.
“Gua
pengen ngerasain situasi kayak gini terus…” Mars berkata tiba-tiba.
“Hah?”
Venus refleks menoleh.
“Pasti
gua bakal kangen sama suasana Jogjakarta kayak gini…”
“Kangen
sama es dawetnya, jalanan Jogjakartanya, duduk berdua sama lo…”
Venus
spontan tersedak mendengarnya.
“Apa?”
“Eh,
maksud gue.. Gu…”
“Maksud
lo apa?” potong Venus jadi salah tingkah.
“Maksudnya,
gua ga mau ninggalin Jogjakarta. Ya… meskipun gua tau kalau gua bukan asli
orang sini…”
Ada
perasaan tidak enak yang terbesit di benak Venus.
“Sebentar
lagi, gua pindah ke Bandung.” Kerongkongan Mars terasa tercekat ketika
mengucapkannya. Matanya yang bulat hanya bisa memandang sekeliling. Tak berani
memandang mata Venus yang daritadi menatapnya.
Kontan
membuat Venus menjatuhkan plastik es dawetnya yang tersisa sedikit.
"Ke..Kenapa?"
"Nyokap dinas disana dan gua harus ikut.
Jadi rumah gua disini udah siap dijual." Mars menghela nafas. Tidak
seperti Venus yang menampung oksigennya satu menit. Memandang jalan aspal yang
sebenarnya tidak ia pandang.
“Mars..
Sumpah ini ga mungkin… Gua dari kecil main sama lo, SD juga gua main sama lo,
belajar sama lo, masak harus berakhir pas kita mau masuk SMP kayak gini?”
"Kita kan udah punya janji kalau nem kita
bagus, kita bakal satu sekolah, Mars.. Gua udah belajar mati-matian. Begitu
juga lo. Sampai akhirnya kita dapet nem yang sama buat masuk SMP 1 yang kita
pengen!" Pandangannya beralih ke wajah Mars dengan serius.
“Ta…”
Belum sempat melanjutkan, Venus sudah memotong.
“Nanti
siapa yang nemenin gua baca komik? Nemenin jalan-jalan kesini? Nemenin lomba
makan gudeg, bantuin gua bu…”
"Cuma gua kok yang pindah. Bukan
persahabatan gua yang pindah. Jadi mau gimana-pun, kita tetep sahabatan, Venus."
Tukas Mars. Nada suaranya mulai meninggi.
Venus
menelan ludah. Sepatunya tak henti-henti mengetuk-ngetuk jalan trotoar.
“Ka..
Kapan lo pindah?”
“Besok.
Sorry ya, gua baru bilang sekarang. Gua juga baru dapet kabarnya dua hari lalu
dan gua bingung gimana mau ngomong ke lo…”
“Venus,
sorry ya..” Ulang Mars. Venus menganggukan kepalanya. Meskipun sebenarnya
hatinya menggeleng dan ingin menahan Mars. Dipandangnya langit diatasnya yang biru tak
berawan.
Dengan alasannya masing-masing, mereka diam
membisu tanpa membicarakan apapun. Agak lama keheningan terjadi diantara
keduanya. Mata mereka sok sibuk melihat situasi sekitar yang padahal pikiran
mereka tak tahu pergi kemana. Mungkin singgah ke kenangan tiga tahun silam,
atau mungkin lima tahun silam..
“Ohya!
Sebelum pergi, gua mau ngasih lo sesuatu…” Venus menyudahi keheningan sambil melepaskan
salah satu gelang warna merah yang berpadu biru ditangannya. Gelang dari tali
yang tadi malam ia buat sendiri.
“Kebetulan,
tadi malem gua buat ini. Ini buat lo… Anggap aja itu kenang-kenangan dari gua.
Dan anggap aja kalau warna merah itu planet Mars, biru itu planet Venus. Mars
dan Venus. Semoga bisa sahabatan terus, dekat terus kayak gelang itu… Maaf ya
cuma bisa ngasih itu…” Ditaruhnya gelang itu di telapak tangan Mars.
“Gua
seharusnya yang minta maaf… Thanks ya, Ven…” Mars merangkul Venus. Rangkulan
yang berisi banyak tanda. Tanda perpisahan, tanda sayang akan persahabatan dan
tanda rindu yang akan segera datang kelak ketika ia pergi meninggalkan sahabat
kecilnya itu.
“Gua
bakal kangen lo banget, Mars…”gumam Venus tersenyum simpul.
“Gua juga…”
Semarak Jalan
Malioboro saat itu tidak dapat mengalahkan semarak di benak mereka. Berbagai
kenangan muncul tiba-tiba. Entah setiap ia melihat sekeliling, yang ditangkap
retinanya malah kenangan-kenangan yang pernah mereka lakukan bersama. Tak ada
dokar, becak, atau orang-orang yang berlalu lalang. Malah muncul rekaman
layaknya video masa-masa suka dan duka mereka dulu.
Mars beranjak
dari kursi yang ia duduki. Kontan membuat rekaman itu menghilang. Pikirannya
yang sejak tadi telah berlarian pergi ke masa dulu, sekarang telah kembali.
"Pulang yuk, udah mulai rame banget..."
ajak Mars. Dituntunnya sepeda hitam disebelahnya karna jalan Malioboro yang
mulai padat sulit membuatnya untuk bersepeda bebas. Venus dengan wajah masam
mengekor di belakang. Langkahnya terasa berat seperti ada banyak utasan tali
yang mengikat kaki-kakinya. Sambil berjalan lunglai, Venus dan Mars kembali
mengingat janji mereka... Kita
bakal sahabatan sampai tua... Sampai
aku jadi astronot dan lihat kamu jadi pemain bola handal seperti CR di tivi...
Sampai aku jadi pemain bola dan lihat kamu jadi astronot yang hebat di
berita...
Mereka
terus berjalan sampai akhirnya keluar dari jalan Malioboro. Bukan lega yang
seharusnya dirasakan usai melewati jalan yang membuat siklus pernapasan agak
sesak itu. Di satu pikiran yang sama, mereka terus bertanya. Apakah ini yang
dimaksud dengan rasa kehilangan sahabat? Atau adakah rasa lain sehingga membuat
rasa ini malah menjadi tak wajar?
Dalam imajinasi masing-masing, Jogjakarta
mendadak hening.
Komentar
Posting Komentar