Tanita bukan martabak



Sore itu pukul 4 sore. Tanita dan Misa sedang dalam perjalanan pulang sehabis bersenang-senang. Bersenang-senang namun tidak begitu senang. Itu menurut Tanita. Padahal hari itu adalah sebuah hari perayaan. Entah disebut perayaan berdua atau perayaan berdua tapi hanya menurut Tanita saja.

Seperti biasanya, Tanita tidak mengungkapkannya soal itu. Apalagi mengungkapkan langsung ke Misa. Tanita hanya memasang tawa lepas seperti biasa. Bercanda pada umumnya. Padahal didalamnya ia merasa sesak yang amat sangat.

Tanita mungkin terlalu berpikir kejauhan.
Tanita mungkin terlalu banyak berharap.
Tanita mungkin terlalu menjadi sensitif.
Tanita mungkin terlalu lupa keadaan.

Semua perasaan yang campur aduk ini akibat ulah Tanita sendiri. Mencari seluk beluk Misa hingga yang paling dalam. Mengobrak abrik seluruh kehidupan Misa hingga yang paling menyakitkan. Hingga kisah Misa dengan masa lalunya. Hingga keseluruhannya.

Semuanya terlihat terlalu menyenangkan. Terlihat saling berjuang. Terlihat saling sayang. Sampai membuat Tanita turut senang. Turut gembira. Turut bahagia. Tapi juga tak luput turut dari iri sampai ke ulu hati.

Ada sebuah gambar. Ada beberapa tangkai bunga yang digenggam satu. Dua orang duduk berdempet. Satu tangannya diletakkan di salah satu pinggang sebelahnya. Duduk berdua saling umbar senyuman. Terlihat di sebuah tempat makan dan satu gambar lainnya di halaman tempat makan.

Gambar yang lain menunjukkan satu buah tangan. Tampak sebuah ilustrasi wajah sebuah pasangan. Jangan lupa dengan tanggal sakral ditengahnya.

Ah senangnya!

Mungkin Misa mencontek sedikit air muka Tanita yang saat itu sedang asik melamun. Atau mungkin Misa sedikit mengintip isi hati Tanita yang terlihat berbeda.

"Aku tahu kamu sebenarnya mau seperti itu juga." kata Misa tiba-tiba memulai pembicaraan. Sepertinya ia bisa membaca pikiran atau meramal melalui raut wajah.

Tanita yang mendengarnya langsung menjawab cepat. Sembari mengunci pikiran dan perasaan aslinya agar tidak kelepasan.

"Enggak."

Tanita merasa tak enak dengan Misa soal pertanyaan itu. Tanita juga tak enak jika Misa merasa tak enak soal itu.

"Aku tahu itu.", kata Misa.

Tanita hanya menjawab,

"Enggak, itu bukan masalah. Itu terserah kamu. Gak apa - apa."

Kata-kata yang asal keluar sambil mengamati jalanan aspal diatas kolong tol.

Misa menarik nafas.

"Aku begitu sesuai perjuangannya", ucap Misa.

Tak ingat apa balasan yang keluar dari mulut Tanita saat itu. Yang teringat jelas hanya tatapannya yang masih sibuk ke arah jalanan aspal yang tidak berbelok. Dengan garis putih vertikal di setiap tengahnya.

Tanita mendadak mencari-cari apa yang telah ia lakukan selama ini. Sepertinya tidak ada. Karena ia baru hanya memberi apapun yang Misa mau dan butuhkan selagi mampu, menemani makan, telefon, obrolan online, menelan semua keegoisan, paksaan dan amarah yang meledak, mengunyah hinaan fisik, kata-kata kasar, dan berbagai perbandingan Tanita dengan punyanya yang dulu-dulu. Tanita baru sadar kalau ia ternyata tidak pernah berjuang sekalipun.

"Kalau dipikir-pikir, kamu seperti ampasnya." tambah Misa lagi tanpa beban.

Dengan mudahnya kalimat itu membuat Tanita sedikit kaget. Sedikit karena memang sudah ia sadari betul sebelumnya. Tapi tetap, kalimat tersebut membuat matanya mulai panas lagi. Merasa ingin cepat-cepat sampai rumah. Tidur tengkurap. Dengan wajah tertutup bantal seluruhnya.

"Aku juga merasakan kok." Tanita terpaksa jujur. Berharap Misa sadar dengan kata-katanya. Tapi sayangnya, sampai dua hari kedepan, nihil adanya. Jangankan sadar, ingatpun mungkin tidak sepertinya. Karena Tanita memang hanya ampas. Sisaan teh yang dibiarkan hinggap di pinggiran cangkir dan siap di buang ke tempat sampah di area dapur.

Ketika Tanita sampai rumah setelah bersenang-senang, Tanita berlari ke kamar. Letak ruangnya ada di bagian depan dapur. Kemudian ia menghampiri sebuah kaca untuk diajak mengobrol seperti teman lama. Tanita berkaca.

"Aku mungkin kurang berjuang", kata Tanita.

"Salah. Aku memang tak pantas diperjuangkan." katanya lagi.

Tanita masih tetap berkaca. Dengan mata yang  juga sudah berkaca-kaca. Tanita akhirnya sadar diri. Tanita tidak pintar, tidak cantik, tidak baik, tidak pandai memasak, tidak sopan, tidak loyal, tidak inisiatif, tidak tahu temannya, tidak kenal saudaranya, tidak dekat dengan orangtuanya.

Tanpa sadar, Tanita jadi merasa rendah diri.

Lagi-lagi Tanita masih berkaca. Bedanya, kaca-kaca di matanya sudah pecah duluan sekarang. Ia masih terbayang-bayang ucapan Misa sebelumnya- sebelumnya, seperti :

"Aku bisa saja dengan yang lain selain kamu. Tapi aku belum ketemu yang cocok lagi."

Atau,

"Kalau kita pisah sepertinya tidak masalah. Asalkan masih tetap saling berkabar intens agar telefon genggamku tetap ramai."

Tanita, martabak saja dianggap spesial. Sayangnya kamu tidak sama sekali.


Nadira,
Desember 2018.


nb : Tanita bercerita dengan si penulis sambil menangis tak ada habisnya. Ia ingin dianggap ada, prioritas, khusus, utama. Ia juga ingin dianggap, disayang dan di-di lainnya. Tapi, Misa saja hanya takut kesepian. Bukan takut kehilangan. Apalagi jikalau alasannya adalah Tanita. Itu benar-benar hanya hayalan. Tanita yang malang, kamu kalah pamor dengan martabak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak cukup bagi kita

Jangan terlalu serius

Covid why