Januari Mati Si Tini



Aku Dek Tini. Yang sekarang biasa dipanggil Mbak Tini sama keluarga besar karna sudah berusia mendekati 20 tahun. Atau dipanggil Tini sama teman - teman rumah yang sekarang berkurang banyak dan sama teman - teman SMA yang sekarang sudah mencar.

Aku mau cerita pengalamanku ini yang mungkin terkesan kekanak - kanakan karena tulisan ini diketik di tahun 2014 yang sekarang sudah diedit pakai kata 'aku' ditahun 2016. Aku hanya cerita, loh. Jadi, baca saja. Karena disini tak ada lawakan. Apalagi romansa. Jadi kalau bosan, juga tutup saja.

Semoga kamu menikmati dan pula tidak menikmati.


Pernah tidak, kamu nonton film atau sinetron sekalipun dan menikmati tiap adegan tanpa berpikir bagaimana rasanya kalau - kalau jadi salah satu tokoh di filmnya? Aku sering. Sering sekali. Dan sama sekali nggak akan terpikir di otak, kalo ternyata aku jadi salah satu peran, yang malah utamanya, di suatu adegan film.

Bukan bergenre tentang scie-fi, romance, comedy atau yang menyenangkan lainnya. Melainkan jungkir balik. Kalian bisa menebak apa.

Januari.
Bulan dimana awalnya aku melakukan banyak hal senang-senang, jalan-jalan keluar kota, dan aktifitas indah lainnya.
Tapi setelahnya, malah busuk di akhir.

Sekitar empat harian merasa stress. Tertawa sengakak-ngakaknya layak pasien rumah sakit jiwa di sekolah, dan menangis-nangisnya orang gila pinggir jalan di rumah. Iya, itu aku.
Mata yang selalu panas, kepala yang selalu pusing dirumah. Rumah yang sudah seperti neraka dunia.
Telinga pengang. Mau ditutup dengan beribu-ribu kapas atau apapun juga tetep saja terngiang-ngiang suara-suara yang bikin mau cepat-cepat kabur ke panti yayasan, atau kalau perlu ke seluruh jalanan Jakarta.  Entah mau kemana yang penting benar-benar bebas dari ‘kiamat kecil’ itu.

Malah, lebih senang kalau berlama-lama disekolah dibanding tempat tinggal yang sedang ricuh. Berantakan melebihi kapal pecah. Pecah melebihi bising tengah kota. Semua preman kota berkumpul. Cekcok berkepanjangan membahas solusi yang sebenarnya baik, tapi kuanggap itu akhir.

Tertawalah sepuasnya.

Surga disekolah adalah sewaktu kamu cuma berdua sama kawan dekat. Perpustakaan salah satunya. Disitu bercerita sepuas-puasnya. Lagi-lagi mata mendadak panas. Tak bisa ditahan apalagi bohong. Terserahlah mau bilang apa buat orang-orang sekitar yang lihat. Terserah mau bilang berlebihan atau lainnya. “Persetanlah buat nangisin laki-laki!” kataku ke salah satu teman sewaktu aku lihat teman lainnya sedang menangis karna pacarnya. Padahal setelah beberapa bulan kemudian, giliranku begitu.

Flashback. Di hari dimana kejadian yang tahi dari segala tahi itu terjadi, pukul 3 pagi aku sapa teman via salah satu aplikasi obrolan di smartphone. Seneng bukan kepalang sewaktu teman dekat membalas meskipun dia balas setelah satu setengah jam kemudian. Dan jujur saja, aku cukup kecewa sewaktu menyapa salah satu teman sd  dan dia hanya membacanya tanpa respon saat beberapa jam kemudian. Ternyata, anggapanku salah besar. Sahabat itu bukan seberapa lama kamu temenan sama dia. Tapi, seberapa lama dia ada disamping kamu dan dengerin semua suka dan dukamu.

Aku bener-bener ada di pertengahan. Ada dua pilihan yang sama sekali gak bisa dipilih. Aku selalu menerka-nerka kejadian yang bakal terjadi kalau aku milih salah satu. Aku nggak mau adanya jarak di keduanya. Aku selalu nggak bisa jawab sewaktu ditanya. Aku cuma ngangguk dan ikutin semua saran dari tanteku. Tanganku gak berhenti menekan-nekan tombol keypad. Curhat sama tante lewat pesan singkat. Doaku saat itu bertambah satu : Semoga semuanya ditemukan jalan keluar yang baik. Amin.

“Tini yang sabar ya.. Ini mungkin cobaan.” Katanya saat itu. Mau nangis rasanya kalau inget kata tante itu. Biasanya aku gak sedeket ini sama tante. Jarang banget sms. Paling menelpon. Itupun menelepon pake telpon rumah dan cuma telepon kesana kalau ada kabar atau ngucapin ulang tahun ke orang - orang disana.

Kesel bukan kepalang waktu tau siapa yang salah. Pengen rasanya ngomong kenapa sih ngelakuin ini semua. Tapi, apa boleh buat? Semuanya sudah terjadi.

Di saat itulah, pertama kali aku punya orang yang bener-bener dibenci. Orang yang dengan beraninya kulempar bangku sewaktu melihat mukanya dan apalagi, orang itu sudah pernah kutemui sebelumnya.

 “Anjing! Jadi ini orangnya!”.

Aku keluarin semua kata-kata laknat yang gak seharusnya diucapkan. Gimana lagi? Ini sudah emosi berat. Dia yang bikin semua seperti ini. Bikin adikku jawab,

“Ah gatau, aku bingung. Aku gak ngerti”

Sewaktu kutanya solusi. Dia masih SD kelas 5 atau 6. Jadi antara benar benar nggak tahu atau pura -pura nggak tahu. Entahlah.

Menurutku, siluman jelmaan itu nggak bisa cuma disebut ‘anjing’ saja. Lebih dari anjing atau kata-kata kotor lainnya.

Waktu kejadian itu, aku masih sama pacar yang sekarang masih pula studi di luar kota. Tapi sudah bukan pacar lagi. Sama sekali nggak cerita ke dia soal ini. Aku nggak mau dia ikut campur lalu bahas - bahas nantinya. Karena aku merasa dia sama sekali nggak berguna. Padahal, akulah yang semestinya disebut dan dia itu nggak pantas disebut begitu.

Mungkin sekarang semuanya sudah berkurang. Sedikit demi-sedikit mulai mereda bekasnya. Banyak luka yang semakin hari semakin sembuh. Yang tadinya beku, lama-lama jadi meleleh. Aku cukup lega. Meskipun tahu, ini sebenernya nggak bakal selesai karna, ya karna aku. Karna akulah alasan dari tiap pihak. Kadang mata ini rasanya panas lagi kalau mengingat. Sekarang, aku cuma bisa berdoa. Berdoa agar nggak ada kejadian yang seperti ini lagi. Aku juga belajar dari kejadian yang lalu. Belajar bersyukur dan berusaha jadi anak yang baik.

Sebenernya a cekurita kayak ini cuma buat berbagi. Nggak jelas sih emang karna aku nggak mau cerita sedetail mungkin. Aku cuma mau kembali nyurahin hati biar lega. Karena setiap tawa, ada tangis. Setiap tangis, ada tawa. Lihat dan mendalami keseluruhan. Jangan hanya dari satu sisi.

Januari, pergilah.

Pergi kamu mati di hutan, tenggelam di laut, hanyut disungai, hilang dipusaran.

Gak perlu kembali. Kami sudah cukup oleh semua yang sudah terlewati.



Tini
Tangerang, Maret 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak cukup bagi kita

Jangan terlalu serius

Covid why