Seorang laki-laki datang kearahku. Mataku rabun tanpa pembantu. Tak bisa lihat garis-garis tubuhnya. Garis pada tiap ujung pakaiannya. Garis pada seluruh air mukanya. Semakin dekat aku jadi paham khasnya. Lebih tinggi dariku, tapi kalah putih denganku. Oh, dia! Dir! Panggilnya. Kujawab iya. Ia berbicara beberapa kalimat. Mungkin jumlahnya belasan. Kujawab lagi dengan iya. Iya, iya, iya. Iya, padahal kudengar saja tidak. Karena telingaku mendadak cuti melahirkan. Sedang mataku sudah asik main duluan. Sama dua bola matanya pergi ke pasar perasaan. Kemudian ia minta semua angka ponsel hitam milikku. Seperti meriam dengan sumbu menyala. Perasaanku jadi meledak-ledak. Siap menerima jenis-jenis sapaan yang akan tiba. Bisa nanti malam, bisa besok pagi. Bisa juga lusa siang. Malamnya, besok paginya. Dan lusa siangnya. Layarku tak muncul tanda-tanda miliknya. Tidak ada namanya, apalagi sapaannya. Rasanya mau jongkok d...